BEATA LUCIA DARI NARNIA

Published by

Date

[text_divider type=”double”]

BEATA LUCIA DARI NARNIA
(1476-1544)

[/text_divider]

[column width=”1/1″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]

• Nama lain: Lucy dari Narni, Lucia Broccadelli, Lucia
Broccolelli, Lucia de Alessio
• Pesta: 14 November (Kalender Dominikan)

[/column]

[column width=”1/1″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]

Lucia lahir pada tanggal 13 November 1476 di Kota Kuno
Narnia (Narni), Umbria, tempat keluarga Broccadelli telah lama
dikenal sebagai keluarga kaya dan terhormat. Bahkan sejak
masih bayi merah dalam buaian, sudah tampak tanda-tanda ajaib
yang menandakan bahwa ia bukan anak biasa. Konon, ibu dan
para pengasuhnya sering melihat, hampir setiap hari, sesosok
perempuan misterius dalam jubah religius mengunjungi Lucia,
menggendongnya dengan lembut, dan memberkatinya. Mereka
amat penasaran namun tidak pernah bisa mengikuti kepergian
sosok tersebut. Betapa terkejutnya sang ibu ketika kelak dinyatakan
kepadanya bahwa sosok perempuan itu, tidak lain adalah Santa
Katarina dari Siena.
Figur Kanak-kanak Yesus menempati posisi penting dalam
hidup Lucia sejak ia kecil. Saat Lucia masih berusia empat tahun,
pamannya pulang dari Roma membawa banyak oleh-oleh. Sementara
sepupu-sepupunya sibuk mengerumuni boneka dan mainan, Lucia
memilih seuntai Rosario kecil dan patung Kanak-kanak Yesus,
yang dia sayang-sayang dan ia namai “Christarello”. Itu merupakan
momen masa kecilnya yang paling bahagia. Sejak itu, bila ia sedang
memperoleh kesenangan, maka ia membagikan sukacitanya pada
Christarello. Begitu pula bila ia mengalami kesusahan, di hadapan
Christarello ia akan menangis dan mencurahkan isi hatinya.
Kesederhanaan lugu ini tampaknya berkenan di hati
Allah, maka Ia mengizinkan patung Christarello itu mengusap
bersih air mata Lucia dengan tangan kecilnya. Hal ini disaksikan
beberapa kali oleh ibu Lucia yang mengintip lewat pintu kamar.
Sang ibu mengenali devosi besar dalam diri putrinya itu sehingga
ia kemudian mengajak Lucia ke Gereja paroki dan menunjukkan
patung Bunda Maria menggendong Kanak-kanak Yesus. Sang ibu
memperkenalkan Bunda Maria sebagai bunda dari Christarello, dan
Kanak-kanak Yesus itu sebagai Christarello yang sama seperti yang
berada di kamar Lucia. Lucia senang sekali, dan atas persetujuan
ibunya ia sering-sering mengunjungi patung di Gereja tersebut
untuk berdoa Rosario di hadapannya.
Terpautnya hati Lucia dengan Ordo Pewarta sudah dimulai
sejak tujuh tahun. Pada waktu itu ia sedang mengunjungi pamannya
yang lain. Di rumah pamannya itu ada sebuah ruangan di lantai atas
yang berhias lukisan Malaikat. Lucia senang memandangi lukisan
tersebut. Tetapi sayangnya tangga menuju ruang atas itu terlalu
curam bagi kaki-kaki kecilnya, sedangkan Lucia enggan ditemani
orang dewasa karena ia tidak ingin ada yang mengganggu doanya.
Seperti biasa ia pun langsung mengeluh kepada Sang Christarello,
dan segera saja tubuhnya terangkat dan dipindahkan secara ajaib
ke ruang atas.
Di ruang atas, Lucia tidak hanya dapat memandang
lukisan Malaikat kesayangannya, ia pun dikaruniai penglihatan
menakjubkan akan Tuhan Yesus, Bunda-Nya, Santo Dominikus,
Santa Katarina dari Siena, dan rombongan besar Para Kudus dan
Malaikat Surgawi. Tuhan Yesus menyematkan cincin kawin mistik
di jarinya, dan bertanya dengan lembut, “Apakah yang akan Kau
berikan pada-Ku? Bagaimana dengan mantol sutra dan kalung emas
itu, maukah Engkau mempersembah-kannya pada-Ku?” Mendengar
kata-kata Kekasihnya, dengan gembira Lucia mencopot mantol dan
kalungnya yang indah, lalu meletakkan keduanya di kaki Tuhan.
Santo Dominikus kemudian menggantinya dengan mengalungkan
skapulir putih Dominikan. Sejak hari itu Lucia berada di bawah
naungan istimewa Santo Dominikus dan Santa Katarina. Tiga kali
terjadi peristiwa Lucia mengalami mukjizat kesembuhan dari
penyakit oleh Santa Katarina dan Santo Petrus dari Verona.
Wafatnya ayah Lucia membuat Lucia ditinggalkan di bawah
pengasuhan sang paman. Menurut kebiasaan zaman itu, pamannya
hendak menikahkan Lucia dengan seorang pemuda terhormat,
Count Pietro dari Milan. Tetapi Lucia sebetulnya ingin hidup selibat
agar jiwa-raganya dapat melayani Tuhan seutuhnya. Dengan tegas
dan berani ia menolak rencana tersebut, namun dalam sebuah
penampakan Allah menyatakan bahwa hidup pernikahan memang
dikehendaki oleh-Nya, dan bahwa Ia menginginkan rumah tangga
Lucia mencerminkan Rumah Tangga Suci Nazaret.
Inilah salah satu kasus ketika kehendak mulia manusia
ternyata tidak sejalan dengan kehendak Allah. Sering kita terheran
heran mengapa Allah tidak menghendaki pilihan yang tampaknya
lebih luhur. Keheranan dan kesedihan juga meliputi Lucia begitu
ia menyadari bahwa kehendak-Nya bertentangan dengan maksud
baiknya. Tetapi yang lebih penting adalah menaati kehendak Allah
di atas segala yang lain. Akhirnya pernikahan antara Lucia dan
Count Pietro pun dilangsungkan, meskipun hatinya tertoreh pedih.
Namun justru karena ketaatan itu membuatnya kian berkenan di
mata Allah, dan sepanjang hidup pernikahan Lucia, Allah makin
sering mencurahkan karunia-karunia supranatural atas hamba
muda-Nya yang setia itu.
Walau jiwa Lucia tetap terpaut pada panggilan religius, ia
tidak pernah gagal memenuhi tanggung-jawab hariannya sebagai
istri serta sebagai majikan atas banyak pelayan. Ia memperlakukan
pelayan-pelayannya sebagai rekan kerja yang berharga, dan ia
pun tak segan membantu pekerjaan di dapur. Mereka semua
bersantap di meja yang sama, dan sesudahnya secara bergiliran
membacakan kisah-kisah Para Kudus atau perikop Kitab Suci.
Lucia bahkan mengangkat salah seorang pelayan yang hidupnya
saleh sebagai pembimbing rohaninya, bak seorang biarawati muda
terhadap superior biara. Pada hari Kamis Putih, Lucia membasuh
kaki mereka semua dengan penuh kasih sayang yang sanggup
membuat pelayan dengan sikap paling kasar sekali pun menitikkan
air mata haru. Apabila ada pelayan yang berbuat kesalahan, maka
Lucia tahu bagaimana menghukumnya dengan keras namun tepat,
sehingga kesalahan tak terulang lagi. Rumah Lucia menjadi penuh
keheningan dan ketenangan, rapi, teratur, dan disiplin bagaikan
sebuah biara pertapaan. Tak pernah terucap sumpah serapah
atau kata-kata kotor, Nama Allah selalu dihormati, dan kebiasaankebiasaan
saleh dipuji dan didorong.
Sekali waktu, dua orang pelayan Lucia, ketika majikan
mereka sedang berada di Gereja, mencuri dan membunuh dua
ekor unggas yang mereka rencanakan akan mereka masak bagi diri
mereka sendiri. Kedua ekor unggas itu baru separo terpanggang
saat mereka mendengar Lucia pulang. Dengan ketakutan, mereka
buru-buru menyembunyikannya di kolong ranjang. Akan tetapi,
Lucia—yang diberikan karunia nubuat—mengetahui semua ini
dan bertanya, “Di mana dua unggas yang pagi ini kulihat masih
berada di halaman?” “Mereka terbang kabur, dan kami sudah
mencarinya seharian,” jawab salah satu pelayan. “Jangan mencoba
memperdaya Allah, anak-anakku,” jawab Lucia, “dua unggas itu ada
di bawah ranjangmu. Mari, ikutlah dan akan kutunjukkan.” Kedua
pelayan mengikuti Lucia dengan kesal bercampur khawatir, tetapi
tercenganglah mereka ketika Lucia bersiul memanggil unggasunggas
tersebut dan mereka betul-betul terbang keluar dari kolong
dalam keadaan hidup dan sehat.
Di waktu yang lain, seorang pelayannya tergelincir dan
tenggelam di sungai saat tengah mencuci pakaian. Lucia membuat
tanda Salib di atas sungai, dan segera saja wanita pelayan yang
tenggelam itu muncul lagi di permukaan, aman dan masih hidup,
meski sekujur tubuhnya sangat basah.
Masih banyak peristiwa mukjizat dan supranatural lainnya
yang terjadi berkaitan dengan Lucia. Misalnya, saat ia menyambut
Komuni Kudus di Gereja, kadang terlihat sebentuk pilar api turun
ke kepalanya, kadang wajahnya bersinar terang-benderang seperti
matahari, dan di kesempatan lain muncul Malaikat-malaikat yang
memahkotai kepalanya dengan karangan bunga mawar. Sinar
gemilang wajah Lucia yang melampaui sinar wajah manusia biasa,
konon memiliki kekuatan untuk menundukkan siapa pun yang
memandangnya. Bahkan Count Pietro, suaminya, seringkali dibuat
bimbang oleh hal-hal ajaib yang diperbuat istrinya. Count Pietro pada
dasarnya adalah pria yang baik dan tulus, serta amat menyayangi
Lucia, tetapi bagaimana pun juga mereka memang seperti berasal
dari dua dunia yang berbeda. Ia seringkali hilang akal bagaimana
cara menghadapi istrinya yang suci itu. Kebingungan ini kadang
diekspresikan sebagai amarah, kecemburuan, bahkan kekerasan.
Setelah empat tahun menikah, Beata Lucia memutuskan
untuk mengejar impian lamanya membaktikan diri secara utuh bagi
Allah. Perlu dicatat bahwa kala itu bukan sesuatu yang aneh bagi
seorang suami atau istri meninggalkan pasangan dan rumahnya
untuk masuk biara. Jadi yang dilakukan oleh Lucia sebetulnya
terbilang lazim. Awalnya Lucia menyepi di rumah ibunya, tempat
kepala Biara Dominikan di Narnia memberinya habit Ordo Ketiga.
Namun setelah beberapa lama, para pamannya berpikir bahwa
tanda-tanda keajaiban luar biasa yang mewujud dalam diri Lucia
sudah cukup untuk menganggap Lucia layak meneruskan hidup
sebagai religius. Ia pun dikirim ke Biara Santa Katarina dari Siena
di Kota Roma.
Dalam satu tahun setelah ia tinggal di biara, ketenaran akan
kesuciannya telah menyebar begitu luas hingga Pater Joachim
Turriano, Master Jenderal Ordo saat itu, meminta Lucia menjadi
kepala sebuah biara baru di Viterbo. Lucia secara resmi menjabat
posisi tersebut pada tahun 1496, usianya genap 20 tahun.
Rombongan gadis yang melamar menjadi biarawati membludak
hebat dan membuat biara itu harus mengalami perluasan beberapa
kali. Tiga tahun kemudian, atas permintaan dari Duke Hercules
d’Este, Sri Paus memerintahkan Lucia untuk pindah ke Ferrara dan
mendirikan biara lagi di sana. Sama halya seperti di Viterbo, biara
Ferrara berkembang dengan cepat.
Selama perjalanan karir Lucia yang menakjubkan ini,
suaminya masih berharap Lucia akan kembali hidup bersamanya
di dunia. Count Pietro mengikuti Lucia ke Roma namun gagal
menemuinya, lantas ia pun ikut berangkat ke Viterbo. Di
perjalanan, setiap lidah mendengungkan kabar kekudusan istrinya,
doa-doanya yang tak terputus, kemuliaan Surgawi yang nampak
ketika Lucia berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus. Yang paling
mencengangkan adalah tentang Lucia yang menerima stigmata
saat ia masih di Roma. Stigmata tersebut diselidiki segera oleh
uskup Viterbo dan tidak butuh waktu lama untuk memaklumkan
otentisitasnya. Count Pietro menghabiskan hari-harinya di luar
pintu biara Lucia, bagaikan pengemis malang yang memohonmohon
sedekah, bak seorang kekasih yang begitu tergila-gila akan
pujaan hati yang tak tergapai.
Ketika akhirnya Lucia keluar menemuinya, jelaslah bahwa
istrinya itu sudah menjelma menjadi makhluk yang nampaknya
hanya setingkat lebih rendah daripada para Malaikat. Untuk
pertama kalinya Count Pietro menyaksikan realita Ilahi yang selama
ini diperlakukannya hanya sebagai fantasi kanak-kanak saja. Konon
Lucia tidak banyak bercakap, namun satu kali pertemuan hening
itu sanggup mengubah seluruh hidup Count Pietro. Hanya dalam
hitungan minggu ia pun mengenakan jubah Fransiskan, hidup
dalam pengasingan yang sunyi, dan kelak meninggal sebagai orang
suci.
Akan tetapi, seperti halnya santo-santa lain yang kita baca,
tidak semua orang menyukai atau mengagumi Lucia. Beberapa
anggota Ordo Ketiga, terutama mereka yang pernah menerima
teguran atau hukuman keras dari Lucia, bergunjing serta
menyebarkan keraguan mengenai segala mukjizat dan karunianya.
Kelakuan mereka makin menjadi-jadi setelah penderma sekaligus
pelindung utama Lucia, Duke Hercules, meninggal pada tahun 1505.
Fitnah tersebut sampai pada titik didengar dan dipercaya oleh
para petinggi Ordo dan bahkan oleh Sri Paus, yang mencopotnya dari
jabatan superior biara. Lucia diturunkan ke posisi yang terendah,
tidak lagi memiliki kuasa atas permasalahan biara, dilarang
berbincang dengan masyarakat, dan bahkan bapa pengakuannya
diganti oleh imam lain yang juga tidak menyukai dirinya. Reputasi
baik Lucia yang telah menyebar segera digantikan oleh awan gelap
aib yang memalukan. Seluruh Italia menyebut nama Lucia dengan
penuh kejijikan. Bahkan para biarawati yang mengucap kaul di
hadapannya, mengucapkan ulang kaul mereka pada superior yang
baru, seolah kaul mereka yang dahulu tidak sah.
Permulaan sengsara Lucia itu terjadi ketika ia berusia
29 tahun. Ia menghabiskan 38 tahun sisa hidupnya di bawah
penderitaan Salib yang dahsyat. Ketika ia jatuh sakit berat, tidak
ada orang yang mau membantunya, sebab mereka telah dibutakan
oleh fitnah. Tuhan Yesus sendiri yang kemudian mengirimkan Para
Kudus-Nya untuk menghibur Lucia. Sekali waktu, Beata Katarina
dari Racconigi, seorang awam Dominikan lainnya yang hidup
sezaman, dipindahkan secara ajaib dari rumahnya di Savoy ke
dalam sel Lucia untuk menemaninya menghabiskan malam.
Tanggal 15 November 1544, Lucia merasa waktu ajalnya telah
dekat. Pada waktu itu usianya 68 tahun. Ia mengumpulkan para
biarawati kemudian dengan rendah hati meminta maaf akan semua
skandal yang telah ditimbulkannya selama ini. Tak satu pun kata
pembelaan diri, klarifikasi, atau penyesalan keluar dari mulutnya.
Hanya nasihat yang ia utarakan, agar saudari-saudarinya itu tidak
kecewa dengan segala ketidaksempurnaan dirinya, melainkan terus
mengasihi Allah saja. Mendekati tengah malam, setelah menerima
Sakramen-sakramen Terakhir, Lucia berseru dengan sukacita,
“Menuju Surga! Menuju Surga!” dan ia pun menghembuskan napas
terakhirnya dengan bibir tersenyum.
Surga tak membiarkan reputasi putri-Nya yang terkasih
itu tetap tercemar di muka bumi. Di saat wafatnya, terdengar
suara kidung Malaikat yang merdu, aroma yang amat harum
memenuhi sel Lucia, dan sekejap saja mata para biarawati terbuka
akan kebenaran tentang kesucian superior mereka. Upacara
pemakaman yang indah dan khusyhuk pun diadakan, seolah ingin
mengembalikan nama baik Lucia sebisa mungkin. Jenazahnya
dipertontonkan dengan hormat kepada umat. Mereka yang dahulu
mengatai Lucia sebagai penipu, sekarang berbondong-bondong
datang untuk menyentuh relikuinya. Berbagai mukjizat terjadi,
antara lain orang sakit disembuhkan dan setan-setan diusir dari
mereka yang kerasukan.
Empat tahun setelah pemakaman, jenazah Lucia digali kembali
dan ditemukan tidak membusuk, malah diliputi keharuman
menyejukkan yang tidak berasal dari dunia ini. Stigmatanya masih
ada dan terbuka seperti luka-luka segar. Tanggal 1 Maret 1710
ia dibeatifikasi oleh Paus Klemens XI. Tahun 1797 jenazahnya
dipindahkan dari Roma ke Ferrara, kemudian tanggal 26 Mei 1935
dipindahkan lagi ke Katedral Narnia, tempat Beata Lucia sampai
hari ini beristirahat dalam kemuliaan dan kehormatan yang mampu
diberikan oleh manusia.

[/column]

[column width=”1/1″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]

Doa
Ya Allah, Engkau menghiasi tubuh Beata Lucia dengan luka-luka
Sengsara Suci Putra-Mu, dan Engkau mempercantik jiwanya
dengan karunia kemurnian dan kesabaran. Dengan demikian
Engkau memampukannya menyangkal gemerlap dunia dan
mengatasi penganiayaan. Semoga melalui pengantaraan dan
teladannya kami pun tidak terseret oleh arus keduniawian atau
tenggelam di bawah kesusahannya. Melalui Kristus Tuhan kami.
Amin.
(Kalender Umum Ordo Pewarta)

[/column]

Bokep Indonesia Terbaru Bokep Jepang Jav Bokep ukthi jilbab GOBETASIA DAYWINBET DAYWINBET GOBETASIA gobet DAYWINBET SLOT GACOR BOKEP INDO BOKEP INDONESIA