[text_divider type=”double”]
SANTA MAGDALENA DARI NAGASAKI
(1586-1617)
[/text_divider]
[column width=”1/1″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]
• Pesta: 28 September (Kalender Dominikan, dalam
Peringatan St. Lorenzo Ruiz dan rekan-rekan martir di
Jepang), 15 Oktober (kalender umum), 20 Oktober (Kalender
Augustinian)
[/column]
[column width=”1/1″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]
Tahun 1543 merupakan awal dari berkibarnya Panji Kristus di
Negeri Matahari Terbit. Pada tahun tersebut, misionaris Yesuit dari
Portugis mendarat di pantai-pantai Jepang, diikuti oleh misionaris
Fransiskan dan Dominikan dari Spanyol. Sejarah mencatat Santo
Fransiskus Xaverius ikut dalam rombongan Jesuit Spanyol yang
berkarya di Kagoshima hingga sekitar tahun 1600.
Saat Kekristenan mencapai puncaknya, populasi “Kirishitan”
(orang Jepang yang beragama Katolik) mencapai 300.000 orang.
Di akhir abad 16, misi di Jepang telah menjadi komunitas Kristen
terbesar yang berada di luar kekuasaan Eropa. Budaya Katolik
sudah sempat meninggalkan beberapa warisan yang dapat kita
nikmati sampai saat ini, misalnya masakan tempura, yang awalnya
diciptakan para misionaris supaya orang Katolik Jepang dapat
menyantap makanan laut selama masa Prapaskah (Latin: tempore
quadragesimae; “tempura” sebagai pelafalan Jepang terhadap kata
“tempore”).
Sentimen antipati terhadap pengaruh asing, termasuk
terhadap Kekristenan, mulai ada sejak kekuasaan Toyotomi
Hideyoshi, daimyo yang berjasa mempersatukan Jepang dan
memerintah dari tahun 1585-1591. Hideyoshi berusaha menahan
penyebarluasan agama Katolik sembari tetap menjaga relasi
perdagangan dengan Portugal dan Spanyol. Akan tetapi oleh
karena banyaknya orang Jepang yang menjadi Katolik, termasuk di
kalangan para daimyo, Hideyoshi semakin curiga dan takut bahwa
akan timbul pemberontakan melawan Kekaisaran Jepang. Sentimen
Hideyoshi ini diteruskan putranya, Tokugawa Ieyasu, dan di
bawah Tokugawa-lah lahir martir-martir baru bagi kemuliaan
Kerajaan Allah.
Magdalena merupakan anak yang cerdas. Sejak kecil ia suka
belajar dan membaca buku-buku rohani dalam bahasa Jepang dan
Portugis. Ia mengkonsekrasikan keperawanannya kepada Allah di
hadapan gambar Bunda Maria Ratu Rosario. Ia juga bekerja sebagai
penerjemah dan katekis bagi biarawan-biarawan Augustinian,
sebuah pekerjaan yang menempatkannya dalam bahaya sangat
besar. Oleh karena kedekatan Magdalena dengan Ordo Augustinian,
beberapa sumber juga menyebut-nya sebagai Augustinian Awam.
Umurnya kala itu belum genap 15 tahun.
Magdalena kehilangan orang tua dan harta bendanya dalam
penganiayaan Tokugawa. Satu persatu biarawan Augustinian yang
dilayaninya pun ditangkap dan dihukum mati. Saat menginjak usia
22 tahun, ia sudah menjadi yatim-piatu sekaligus tunawisma dan
tanpa uang sepeser pun. Magdalena lantas pindah ke atas bukit
dan menetap di sebuah gua bak seorang pertapa. Beruntunglah ia
bahwa orang tuanya telah menanamkan iman yang kuat, sehingga
ia memutuskan untuk menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam
doa yang intens. Semua orang Katolik Jepang pada waktu itu sudah
paham bahwa mereka akan mati, tinggal menunggu kapan dan
bagaimana.
Magdalena menempatkan dirinya di bawah bimbingan rohani
Pater Jordan de San Esteban, OP. dan menerima habit sebagai
Ordo Ketiga. Pater Jordan membawakannya Sakramen-sakramen
sesering mungkin. Namun satu hari ia tidak datang seperti yang
dijanjikannya, dan Magdalena mendengar bahwa imam tersebut
telah dipenjara. Maka ia memutuskan bahwa inilah waktunya untuk
menyatakan dirinya sebagai seorang Kristen.
Mengenakan habit lengkap Dominikan, Magdalena berjalan
mendatangi penjara di Nagasaki. “Aku orang Kristen. Biarkan aku
masuk!” katanya kepada penjaga. Tetapi penjaga tersebut, melihat
betapa muda dan ringkihnya Magdalena, menjawab, “Pulanglah,
gadis kecil, kamu tidak seharusnya berada di sini.” Tetapi
Magdalena semakin memaksa minta dimasukkan penjara, sehingga
untuk meredakan keributan, si penjaga terpaksa mengizinkannya
masuk. Di dalam penjara, Magdalena mencari Pater Jordan dan
mengucapkan janji kekalnya dengan penuh sukacita, seolah tidak
terjadi apa-apa.
Si penjaga masih berusaha mengeluarkan Magdalena,
tetapi gadis itu selalu protes. Karena kesal ia berkali-kali hampir
diluputkan dari kemartiran, Magdalena muncul secara tiba-tiba
dalam persidangan para tahanan dan memaklumkan imannya di
hadapan semua orang. Maka tidak ada lagi yang bisa dilakukan
selain menahannya secara resmi.
Tawaran-tawaran kemurahan hati ditolak Magdalena dengan
keras. Oleh sebab itu, sesuai prosedur, ia mesti menanggung
serangkaian proses penyiksaan. Menurut catatan sejarah,
penyiksaan di Era Tokugawa sangat beragam dan mengerikan.
Penyiksaan yang dilakukan terhadap Magdalena akan dipaparkan
di bawah ini, bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk
menunjukkan betapa mengagumkannya roh keberanian dan
keteguhan hati yang dikaruniakan Allah kepadanya.
Pertama-tama, algojo diperintahkan memotong dan
mengasah serpihan bambu tajam, lalu menghantamnya masuk
ke bawah kuku jari sehingga bambu tersebut merobek kuku dan
ujung-ujung jari. Magdalena, melihat darah mengalir dari jarijarinya,
berseru senang, “Kalian menghias tanganku dengan batubatu
rubi!”
Selanjutnya, Magdalena dipaksa menggali lubang di tanah
menggunakan serpihan bambu yang telah tertancap di jari-jarinya,
dan perintah ini pun dikerjakan Magdalena dengan gembira.
Kemudian, mereka mencoba penyiksaan dengan air. Sejumlah besar
air dituangkan ke dalam mulut hingga tenggorokan Magdalena, lalu
ia didorong jatuh dan ditindih bebatuan berat hingga air tersebut
memuncrat keluar melalui rongga mulut, hidung, dan telinganya.
Masih belum puas, kedua lengan Magdalena diikat dan digantung
dengan tali di atas kepalanya, tubuhnya dikerek tinggi-tinggi, lalu
dijatuhkan tiba-tiba sehingga sendi-sendi bahunya terlepas dari
engselnya.
Penyiksaan bertubi-tubi, berulang, dan tanpa jeda itu sama
sekali tidak mematikan bara cinta Magdalena kepada Kristus.
Ia bahkan terdengar berseru, “Kalian seharusnya malu apabila
kalian berpikir aku akan menyangkal Kristus hanya gara-gara
ketidaknyamanan kecil ini. Orang akan berpikir kalian seharusnya
bisa menemukan sesuatu yang lebih hebat lagi untuk diriku!”
Magdalena akhirnya dikirim ke penyiksaan yang paling
menyakitkan dan paling ditakuti, yaitu tsurushi. Ia digantung
terbalik di dalam lubang sedalam enam kaki yang penuh berisi
kotoran manusia. Selama berhari-hari darahnya mengalir keluar
melalui telinga, hidung, dan mulutnya. Normalnya, penderitaan
akibat tsurushi ini dikatakan “di luar kewajaran; tidak ada api atau
siksa lainnya yang mampu menyamai kekejamannya.”
Tetapi Magdalena tidak sekali pun mengeluarkan keluhan
atau teriakan kesakitan. Ia malahan menyanyikan lagu-lagu cinta
merdu dalam bahasa Jepang bagi Yesus, Kekasih Surgawi-Nya.
Setiap hari para penjaga lubang akan mendengar ia bertanya,
“Apakah kalian mau mendengar sebuah lagu?” dan setiap kali
dijawab “Ya”, Magdalena akan menyenandungkan kidung-kidung
pujian kepada Allah, yang konon begitu indah hingga dikatakan
suaranya bukan dari dunia manusia biasa.
Ketahanan Magdalena di lubang tsurushi menjadi desasdesus
di antara masyarakat, penjaga, sampai ke atasan mereka.
Para petinggi dari Nishizaka berbondong-bondong datang untuk
melihat sendiri apa yang terjadi. Banyak dari mereka yang keras
hati mulai luluh. Akan tetapi Takenaka Uneme, Gubernur Nagasaki
yang kejam, memerintahkan penjaga untuk memukul kepala
Magdalena agar pingsan, dan meninggal-kannya semalaman dalam
hujan deras. Para penjaga melakukannya dengan hati gundah,
sebab sudah berhari-hari nyanyian Magdalena menghibur mereka.
Pagi harinya, mereka menemukan lubang tsurushi Magdalena
telah tergenang penuh oleh air hujan. Tidak ada lagi ekspresi
sukacita dan nyanyian manis yang berkumandang dari kegelapan
lubang. Magdalena meninggal tenggelam setelah tergantung
terbalik selama 13 hari. Seperti para martir lainnya, jenazahnya
dibakar dan abunya dibuang ke laut untuk menghindari diambil
dan dihormati sebagai relikui.
Magdalena, Lorenzo Ruiz, dan para martir Jepang lainnya
dibeatifikasi bersama-sama oleh Paus Yohanes Paulus II pada
tanggal 18 Februari 1981 di Luneta, Filipina. Paus yang sama
mengkanonisasi mereka di Roma pada tanggal 18 Oktober 1987.
[/column]
[column width=”1/1″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]
Doa
Ya Allah, Mata Air dan Asal-Muasal Segala Bangsa, Engkau
memampukan Santa Magdalena setia sampai akhir pada
Salib Kristus, bahkan hingga menumpahkan darahnya sendiri.
Semoga melalui doa-doanya, kami berani mewartakan kasih-
Mu di antara saudara-saudara kami, supaya kami boleh disebut
sebagai, serta sungguh menjadi, anak-anak-Mu. Melalui Kristus,
Tuhan kami. Amin.
(Kalender Umum Ordo Pewarta)
[/column]