[text_divider type=”double”]
SANTO LORENZO RUIZ
(ca. 1600-1637)
[/text_divider]
[column width=”1/1″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]
• Nama lain: Lawrence Ruiz, Laurensius Ruiz, Lorenzo Ruiz de
Manila
• Pelindung: Negara Filipina, bangsa Filipina, tenaga kerja
Filipina, Keuskupan Agung Manila, kaum miskin, keluarga
yang tercerai-berai
• Pesta: 28 September (Kalender Dominikan, dalam
Peringatan St. Lorenzo Ruiz dan rekan-rekan martir di
Jepang), 15 Oktober (kalender umum), 20 Oktober (Kalender
Augustinian)
[/column]
[column width=”1/1″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]
Lorenzo lahir di Distrik Binondo, Manila, dari ayah Tionghoa
dan ibu Filipina, keduanya Katolik. Semasa mudanya, ia belajar
bahasa Tionghoa dan Tagalog dari orang tua dan kemudian bahasa
Spanyol dari Imam-imam Dominikan di Gereja Binondo tempat ia
melayani sebagai misdinar dan sakristan.
Setelah dididik selama beberapa tahun oleh para Dominikan,
Lorenzo memperoleh gelar escribano (kaligrafer) oleh karena
tulisan tangannya yang indah. Ia pun menjadi kaligrafer profesional
yang bekerja menghias dokumen-dokumen penting dengan
keahlian tulisan tangan anggun. Lorenzo bergabung dengan
Persaudaraan Rosario Suci yang berada di bawah naungan Ordo
Dominikan. Ia menikahi Rosario, seorang wanita lokal, dan memiliki
dua anak laki-laki serta satu anak perempuan. Tidak banyak detil
yang diketahui mengenai kehidupan keluarga Ruiz kecuali bahwa
mereka menjalani hari-hari yang damai, religius, dan secara umum
cukup bahagia.
Allah membelokkan jalan hidup Lorenzo secara tak terduga
pada tahun 1636, yaitu ketika Lorenzo difitnah telah membunuh
seorang Spanyol. Tidak jelas apa yang sesungguhnya terjadi serta
bagaimana Lorenzo bisa berada di tempat yang salah pada waktu
yang salah. Catatan sejarah hanya mengatakan bahwa Lorenzo
menjadi buronan pihak yang berwenang.
Lorenzo mencari perlindungan di atas kapal yang ditumpangi
sejumlah imam dan awam Katolik. Mereka adalah tiga Imam
Dominikan yaitu Antonio Gonzalez, Guillermo Courtet, dan Miguel
de Aozaraza; seorang imam asli Jepang bernama Vicente Shiwozuka
de la Cruz, dan seorang awam bernama Lazaro dari Kyoto, penderita
lepra. Lorenzo tidak mengetahui ke mana mereka berlayar; barulah
ketika kapal sudah di tengah laut ia menemukan bahwa mereka
sedang menuju Jepang.
Negeri Jepang pada waktu itu tengah berlumuran darah. Di
bawah kekuasaan Shogun Tokugawa, negeri itu menjadi saksi dari
penganiayaan besar-besaran atas umat Kristen. Kapal Lorenzo dan
rekan-rekannya mendarat di Okinawa, dan tidak lama mereka pun
tertangkap oleh pihak Jepang lalu dibawa ke Nagasaki.
Di Nagasaki, mereka dikenakan hukuman siksa menggunakan
air. Sejumlah besar air dimasukkan paksa ke dalam saluran
pencernaan hingga penuh mencapai tenggorokan, kemudian si
terhukum dibuat berbaring telentang dengan papan kayu panjang
di atas perut, lalu eksekutor melompat ke atas kayu tersebut
sehingga air di dalam perut terhukum menyembur keras melalui
mulut, hidung, dan telinga.
Sang superior, Antonio, meninggal setelah beberapa hari.
Imam Jepang Vicente Shiwozuka dan Lazaro si kusta nyaris murtad
di bawah tekanan hukuman yang mengerikan, walau kemudian
semangat mereka kembali tersulut karena menyaksikan keberanian
rekan-rekan mereka yang lain.
Dalam waktu-waktu krisis itu, Lorenzo sempat bertanya
kepada seorang penerjemah, “Aku ingin tahu, apabila aku murtad,
apakah aku akan dibiarkan hidup?” Si penerjemah bungkam seribu
bahasa, namun keteguhan iman Lorenzo semakin bertumbuh. Ia
menjadi luar biasa berani, bahkan menantang orang-orang yang
menginterogasinya.
Lima orang yang tersisa dari rombongan Lorenzo tersebut
dijatuhi hukuman mati tsurushi, yaitu digantung terbalik di dalam
lubang sempit. Waktu itu tanggal 27 September 1637, bertempat
di Bukit Nishizaka, Nagasaki. Dalam tiga hari, Lorenzo dan Lazaro
meninggal, oleh sebab kehilangan banyak darah dan mati lemas.
Sementara itu, tiga Imam Dominikan yang masih hidup akhirnya
dipenggal. Jenazah mereka dibakar habis dan abunya dibuang ke
Samudra Pasifik.
Menurut catatan misionaris yang dikirim dan selamat
sampai ke Manila, Lorenzo mengutarakan kata-kata berikut pada
waktu ajalnya, “Ego Catholicus sum et animo prompto paratoque
pro Deo mortem obibo. Si mille vitas haberem, cunctas ei offerrem”,
yang artinya, “Aku seorang Katolik dan dengan sepenuh hati aku
menerima kematian demi Allah. Seandainya aku punya seribu
nyawa, semuanya itu akan aku persembahkan bagi-Nya.”
Lorenzo Ruiz dan sejumlah martir lainnya di Jepang
dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 18 Februari
1981. Paus yang sama mengkanonisasi mereka pada tanggal 18
Oktober 1987. Santo Lorenzo Ruiz merupakan martir Filipina
pertama yang dikanonisasi.
[/column]
[column width=”1/1″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]
Doa
Ya Allah Tuhan kami, Engkau mengaruniakan keteguhan
iman kepada Santo Lorenzo Ruiz dan rekan-rekan martirnya.
Berikanlah kepada kami keteguhan dan ketekunan yang
sama itu, sebab kami percaya bahwa barangsiapa dianiaya
oleh karena kebenaran maka mereka akan berbahagia dalam
Kerajaan-Mu. Melalui Kristus, Tuhan kami, yang hidup dan
bertakhta bersama dengan Dikau, dalam persekutuan dengan
Roh Kudus, Allah sepanjang segala masa. Amin.
(Doa Kolekta Peringatan St. Lorenzo Ruiz dan Rekan-rekan Martir, ed.
Rev. James Socías, 2013)
[/column]