[text_divider type=”double”]
BEATO BARTOLO LONGO
(d. 1926)
[/text_divider]
[column width=”1/1″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]
• Nama lain: Bartholomew Longo, Bartolomeo Longo di
Latiano, Fratel Rosario
• Pesta: 5 Oktober
[/column]
[column width=”1/1″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]
Bartolo Longo lahir dalam keluarga kaya pada tanggal 10
Februari 1841 di Kota Latiano, dekat Brindisi, Italia Selatan. Orang
tuanya, Bartolomeo Longo dan Antonina Luparelli, merupakan
pasangan Katolik yang saleh yang rutin berdoa Rosario setiap hari.
Keluarga Longo menanamkan nilai-nilai Katolik Tradisional dan
menjaga situasi rumah yang damai, tenang, dan menyenangkan.
Sejak kecil, Bartolo sudah terlihat pandai dan bersemangat, serta
memiliki temperamen yang walau sedikit keras namun periang
dan suka bercanda. Tahun 1861, dalam usia 20 tahun, ia pergi ke
Universitas Naples untuk belajar hukum.
Tahun 1860-an Gereja Katolik di Italia sedang menghadapi
masalah dari Gerakan Nasionalisme yang kuat. Gerakan tersebut,
yang diinspirasi oleh Revolusi Prancis, menganggap keberadaan
Gereja dan Kepausan sebagai musuh dari Negara Italia. Gereja
dipandang sebagai musuh dari kemajuan dan kebebasan.
Bersamaan dengan itu, tumbuh pula kegemaran masyarakat akan
okultisme (ilmu gaib). Teman-teman Bartolo di Naples banyak yang
ikut berdemonstrasi melawan Gereja, mencoba-coba praktik sihir,
serta berkonsultasi ke dukun. Oleh pengaruh negatif ini, Bartolo
ikut terseret ke dalam pergaulan buruk, hingga ia ber-gabung
dengan Gereja Setan, bahkan ditahbiskan sebagai Imam Satanis.
Sebagai seorang Satanis, Bartolo banyak melakukan praktik
pemanggilan roh, ramalan, dan kegiatan seks berkelompok. Ia
juga sering menghina Gereja Katolik secara publik dan melakukan
segala cara untuk menghambat perkembangan Gereja. Ia sukses
meyakinkan banyak orang Katolik untuk ikut berpartisipasi dalam
kegiatan Satanis.
Akan tetapi, hidup Bartolo tidak bahagia. Bertahun-tahun
menjadi Satanis, dirinya dirundung depresi, kecemasan, dan
kebingungan. Praktik ilmu setannya menyebabkan paranoia
dan kegelisahan yang sulit dijelaskan. Ia juga sering diganggu
penglihatan-penglihatan setan yang mengerikan (dalam istilah
demonologi, fenomena ini disebut “demonic obsession”), sehingga
ia sering tidak makan dan mengalami penurunan kesehatan. Dalam
jurang kegelapannya, ia mendengar suara mendiang ayahnya yang
mendesak, “Kembalilah kepada Tuhan! Kembalilah kepada Tuhan!”
Bartolo akhirnya meminta bantuan kepada teman masa
kecilnya, Vincenzo Pepe. Pepe meyakinkan Bartolo untuk
meninggalkan Satanisme dan mengenalkannya kepada Imam
Dominikan bernama Pater Alberto Radente. Pater Radente
mendorong Bartolo untuk mengaku dosa dan memulai kembali
berdoa Rosario, doa masa kecil yang telah begitu lama ia lupakan.
Tanggal 23 Juni 1865, Bartolo menyambut Komuni Kudus lagi, yang
baginya terasa bagaikan Komuni Pertama. Dari Roti Surgawi itu
ia memperoleh keberanian dan semangat baru untuk mengubah
hidupnya.
Lulus dari universitas, Bartolo berpraktik sebagai pengacara.
Bulan Maret 1871, Bartolo bergabung dengan Ordo Ketiga
Dominikan dan mengambil nama religius “Rosario”. Karena
kepribadiannya yang menarik dan otaknya yang cerdas, ia cepat
bergaul dengan orang-orang penting di Naples. Ia berkenalan
dengan Katarina Volpicelli (kelak diangkat sebagai santa pada tahun
2009 oleh Paus Benediktus XVI), yang terkenal oleh kerasulannya
yang mempromosikan Hati Kudus Yesus. Di rumah Volpicelli, ia
berkenalan pula dengan Countess Marianna Farnanaro, janda dari
Count Albenzio de Fusco, seorang juragan tanah di Pompei. Bartolo
dan Sang Countess menikah, namun keduanya sepakat untuk tetap
hidup sebagai saudara dan saudari. Sang Countess meminta Bartolo
menjadi penasihat hukum atas pertanahan mendiang suaminya,
dan oleh sebab itulah, keduanya bertolak ke Kota Pompei.
Para penyuka sejarah mungkin telah mengenal Kota Pompeii
sebagai Kota Romawi Kuno yang runtuh ditelan abu Gunung
Vesuvius yang meletus tahun 79. Pada abad 4, orang-orang Kristen
mulai berdiam di sana, dan pada abad 11 telah berdiri Gereja
besar yang dikelola para Rahib Benediktin. Nama Pompeii berubah
menjadi Pompei. Namun seiring waktu, Lembah Pompei dan Kota
Pompei Baru mengalami kemerosotan dalam segala aspek. Ketika
Bartolo Longo tiba di sana pada bulan Oktober 1872, Pompei adalah
kota kumuh dan miskin, yang penduduknya harus mengerjakan
hal-hal tak bermoral hanya untuk mencari seketul roti.
Dalam buku tentang sejarah Pompei yang ditulisnya sendiri,
Bartolo berkomentar, “Hanya ada satu Gereja reyot di sini dengan
satu-satunya altar, yaitu altar utama, yang sungguh tidak layak
untuk kediaman Sakramen Mahakudus. Altar itu tersusun dari
papan-papan kayu tua yang menjadi sarang tikus, kadal, dan
serangga … Tidak ada sekolah untuk menghalau kegelapan akal budi
orang-orang … Tidak ada Bait Allah tempat umat bisa berkumpul
dan menimba ajaran agama kita yang agung .…Bahkan tidak ada
altar yang didedikasikan untuk Bunda Maria … Tetapi yang paling
menyedihkan adalah ketika aku melihat bagaimana Hari Minggu
dan hari-hari raya lewat begitu saja tanpa perayaan yang pantas
sesuai dengan Perintah Allah yang ketiga … Dan juga ketika aku
melihat para pria dan wanita muda menghabiskan waktu dengan
bekerja terus-menerus atau bermalasan sepanjang hari, sedang
kita tahu bahwa tangan yang menganggur adalah bapa dari segala
kefasikan … Pun aku menyaksikan anak-anak, yang adalah bagian
paling berharga dari keluarga, yang suatu hari akan tumbuh entah
menjadi warga yang jujur atau perampok, mereka dibiarkan
berkembang seperti binatang.”
Akan tetapi “di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih
karunia menjadi berlimpah-limpah” (Roma 5:20). Di Pompei Allah
telah menunggu hamba-Nya untuk berkarya, seperti yang kemudian
diceritakan oleh Bartolo sendiri dalam bukunya, “Satu hari, tanggal
9 Oktober 1872, badai dalam jiwaku menyiksa pikiran dan tubuhku
lebih daripada biasanya, dan memenuhiku dengan kesedihan yang
sebentar lagi menjadi keputusasaan. Aku pergi keluar dan berjalanjalan
di sekitar lembah tanpa tujuan … Tiba-tiba langkahku
membeku. Hatiku rasanya mau membuncah. Dalam kegelapan
jiwa ini aku mendengar secercah suara bersahabat yang berbisik
kepadaku. Katanya, “Apabila Kamu ingin diselamatkan, Kamu
harus menyebarluaskan Rosario. Itulah janji Maria, barangsiapa
menyebarkan Rosario akan diselamatkan!” Bartolo, yang pada
waktu itu nyaris bunuh diri, bangkit dan berseru kepada Bunda
Maria, “Jika benar apa yang Kau katakan kepada Santo Dominikus
bahwa barangsiapa menyebarkan Rosario akan diselamatkan,
maka Aku tentu akan selamat sebab Aku takkan meninggalkan
Pompei tanpa menyebarkan Rosario-Mu!”
Bartolo tidak membuang-buang waktu. Dengan uangnya
sendiri, ia mengadakan festival Rosario Suci untuk menarik perhatian
masyarakat. Orang-orang menikmati keriaan acara tersebut
dan hadiah-hadiahnya, tetapi begitu festival terakhir, tidak ada
kemajuan dalam kesalehan mereka. Maka Bartolo pun membentuk
Persaudaraan Rosario. Melalui komunitas itu ia mengajar katekese,
mengatur renovasi Gereja lama, dan mengumpulkan uang untuk
membangun altar yang didedikasikan kepada Sang Ratu Rosario.
Uskup setempat senang, tetapi mengenai pembangunan altar, ia
berkomentar, “Mau membangun altar? Bangunlah Gereja baru!”
Bartolo menganggap itu ide bagus, tetapi sayang uangnya
masih sangat kurang. Maka selain mengumpulkan satu-dua koin
dari para keluarga miskin, ia pun ikut mengemis di jalan. Tantangan
baru muncul ketika imam yang hendak meresmikan Persaudaraan
Rosario mengatakan bahwa harus ada lukisan Bunda Maria Ratu
Rosario, dan harus lukisan minyak sungguhan, bukan gambar
cetakan.
Bartolo pergi meminta bantuan seorang teman yang kaya di
Naples untuk mencarikan lukisan yang cocok. Tetapi lukisan yang
ditemukannya sangat buruk. Lukisan itu baru saja dilelang dengan
harga 28 sen, hanya demi menyingkirkannya dari pelelangan,
Dalam lukisan, Bunda Maria tampak gemuk dan jelek, Kanak-kanak
Yesus tampak peyot, Santo Dominikus berwajah bodoh, dan entah
kenapa ada figur Santa Rosa de Lima di situ. Kanvasnya kotor dan
robek di beberapa sisi. Tetapi karena tidak punya pilihan lain,
Bartolo mengambil lukisan itu dan mengirimkannya ke Pompei
dengan kereta pengangkut kotoran kuda.
Imam di Pompei sangat terkejut dan sedikit marah. Ia tidak
mau menggantung lukisan jelek itu di Gereja sebelum diperbaiki.
Bartolo harus menyewa seorang seniman yang mengetahui sejarah
Gereja untuk melakukan tugas itu. Santa Rosa diganti dengan Santa
Katarina dari Siena, sementara wajah Bunda Maria, Kanak-kanak
Yesus, dan Santo Dominikus dipermak agar menjadi sedikit lebih
baik. Akhirnya lukisan itu, walau masih jauh dari mengesankan,
diizinkan untuk dipasang sebagai objek Devosi Rosario Suci.
Mukjizat lainnya datang lewat tangan istrinya, Countess
Marianna. Saat sang Countess mengunjungi rumah keluarga
kaya untuk meminta sumbangan bagi pembangunan Gereja, ia
menemukan anak keluarga itu sedang sekarat karena sakit. Ia
berkata, “Kalau Anda berjanji akan membantu pembangunan
Gereja baru milik Bunda Maria di Pompei, anak Anda akan sembuh.”
Janji itu terbilang amat berani, tetapi Bunda Maria ternyata
berkenan menyembuhkan anak itu. Sesuai janji, keluarga tersebut
menyumbangkan sejumlah besar uang untuk Gereja.
Selama menunggu Gereja selesai, Bartolo berkarya dalam
kerasulan lainnya. Ia menulis dan menerbitkan banyak buku
tentang Pompei, Rosario, dan Bunda Maria. Sebagai pengacara,
tulisannya disusun dengan profesional sehingga selain memperkaya
masyarakat sederhana, ia mampu menyentuh akal orang-orang
terpelajar. Bersama istrinya yang saleh, ia membangun taman
kanak-kanak dan rumah penampungan bagi anak jalanan dan yatimpiatu.
Di rumah itu, mereka memperoleh atap untuk berteduh,
makanan untuk menghangatkan perut, ranjang untuk beristirahat,
dan pendidikan serta katekese untuk iman mereka. Bartolo juga
menggunakan ilmu hukumnya untuk melindungi anak-anak para
tahanan dan memperjuangkan hak mereka untuk pendidikan dan
kesejahteraan.
Bartolo bahkan mendirikan sebuah kongregasi suster
yang diberi nama Putri-Putri Rosario Suci dari Pompei. Awalnya
kongregasi tersebut dibentuk khusus untuk mengurus karya-karya
kerasulan Bartolo dan Gereja yang kelak menjadi tujuan ziarah
umat Katolik sedunia. Namun kongregasi itu pun berkembang pesat
dan memencar ke berbagai belahan dunia. Seusai Perang Dunia I,
ia berkembang di beberapa daerah di Italia (Paola, Maiori, Padula,
Minori, Santa Maria Capua Vetere, Roma, dan Fidenza), kemudian
ke Manila, Filipina (September 1987); Bikok, Kamerun (Mei 1995);
dan Flores, Indonesia (Oktober 2002).
Setelah berbagai tantangan, kesulitan, cemoohan, dan untaian
doa yang tak putus, Gereja Bunda Maria Ratu Rosario rampung
pada tahun 1901 dan dikonsekrasikan pada tahun yang sama.
Keberadaan Gereja itu mengubah wajah Lembah Pompei untuk
selama-lamanya. Bunda Maria tidak hanya mempertobatkan hati
seorang Satanis secara pribadi, namun juga memakainya sebagai
alat untuk menghadirkan rahmat Allah di lembah yang dahulu
terbengkalai.
Ratusan hingga ribuan peziarah datang ke Pompei setiap hari.
Mukjizat demi mukjizat terjadi, doa demi doa dikabulkan. Lukisan
Ratu Rosario yang dahulu begitu buruk, kini dikelilingi bingkai
emas bertatahkan berlian, bersinar-sinar dalam temaram jutaan
lilin peziarah. Paus Santo Yohanes Paulus II mengunjunginya dua
kali, pertama pada tanggal 21 Oktober 1979 dan kedua tanggal 7
Oktober 2003. Sri Paus begitu terkesan dengan sosok Beato Bartolo
Longo hingga ia terinspirasi menuliskan Surat Apostolik Rosarium
Virginis Mariae dan mencanangkan Tahun Rosario (2002-2003).
Paus St. Yohanes Paulus II menyebut Beato Bartolo sebagai “Rasul
Rosario yang Sejati”.
Bartolo Longo, mantan Satanis yang direnggut dari Neraka
oleh tangan Bunda yang lembut, meninggal dalam damai pada
tahun 1926. Ia dibeatifikasi di Roma oleh Paus Yohanes Paulus
II pada tanggal 26 Oktober 1980. Gereja yang dibangunnya kini
menjadi basilika minor dan telah mengalami pemugaran dari 420
meter persegi menjadi ukuran saat ini yaitu 2000 meter persegi,
yang mampu mengakomodasi 6000 orang.
Kisah hidup, pertobatan, dan kerasulan Beato Bartolo Longo
memang mencengangkan. Ia menjadi bukti melimpahnya kerahiman
Allah bagi siapa pun yang tulus mencari-Nya. Bartolo Longo telah
jatuh cinta pada Perawan Maria, dan kesaksiannya menggambarkan
besarnya kuasa cinta sejati atas dosa dan kejahatan.
[/column]
[column width=”1/1″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]
Doa
Allah yang Mahakuasa dan Maharahim, melalui Beato Bartolo,
pejuang Rosario Santa Perawan Maria, Engkau menunjukkan
kepada kami seorang teladan kekudusan dan kasih. Melalui
doa-doanya semoga kami mampu untuk belajar melihat Kristus
Putra-Mu dalam sesama kami, dan untuk mengasihi Dia melalui
mereka. Doa ini kami panjatkan kepada-Mu melalui Tuhan Yesus
Kristus, Putra-Mu, yang hidup dan berkuasa bersama Dikau dan
Roh Kudus, Allah sepanjang segala masa. Amin.
(Kalender Umum Ordo Pewarta)
[/column]