VENERABILIS PRAXEDES FERNANDEZ GARCIA
(1886-1936)
Praxedes lahir pada tanggal 21 Juli 1886 di kota kecil Mieres,
di lembah pertambangan Asturias, Spanyol. Kala itu Asturias
tengah mengalami kemajuan perkembangan industri batu bara
dan metalurgi. Ayah Praxedes, Don Celestino Fernandez Fernandez,
merupakan insinyur pertambangan yang berperawakan gagah dan
tampan. Ibu Praxedes ber-nama Amalia Garcia Suarez, anak seorang
pengusaha properti. Pribadi-nya cerdas dan praktis. Celestino dan
Amalia menikah saat masing-masing berusia 24 dan 21 tahun.
Mereka dikaruniai 12 anak, 5 di antara-nya meninggal saat masih
bayi. Praxedes sendiri adalah anak keempat.
Praxedes kecil dibaptis pada hari kelimanya di dunia.
Namanya diambil dari nama Santa Praxedes, seorang perawan
muda yang dimartir tahun 165 M dan diperingati setiap tanggal 21
Juli. Praxedes memiliki devosi besar terhadap santa pelindungnya
itu. Ia kerap berdoa, “Ya Santa Praxedes, yang kini telah bertakhta
bersama Allah dalam kemuliaan, ingatlah Aku di hadapan Tuhan,
supaya Aku tidak pernah membawa aib bagi namamu, oleh karena
kesalahan dan kegagalanku. Doakanlah Aku supaya suatu hari nanti
Aku boleh ada bersama-sama dengan Engkau dan ambil bagian
dalam kemuliaan yang sudah Engkau nikmati itu. Amin.”
Keluarga Praxedes rukun dan amat saleh. Doa Rosario
senantiasa melantun di rumah mereka setiap hari, sementara pagi
hari dibingkai dengan Misa Kudus harian. Praxedes belajar banyak
tentang amal kasih dari kedua orangtuanya. Celestino sangat
murah hati terhadap para imam, orang-orang miskin, remaja putus
sekolah, serta pekerja-pekerja tambang bawahannya. Sementara
Amalia menjadi pembawa damai di tengah masalah perkawinan
para pembeli yang mengunjungi toko mereka. Kebaikan dan belas
kasih ini menjadi panutan bagi Praxedes, yang mencoba meniru
dengan cara kanak-kanaknya sendiri yang masih polos.
Beranjak dewasa, Praxedes mulai menunjukkan bakat
menjadi ibu rumah tangga. Ia gesit mondar-mandir membantu
pekerjaan rumah tangga ibunya dan mengurus adik-adiknya. Pada
usia 11 tahun, ia sudah menjadi “tangan kanan” ibunya dalam nyaris
segala hal. Ia merapikan perabotan, membersihkan, memasak,
memanggang, menjahit, berkebun, dan menggembalakan.
Baginya, kemalasan adalah induk dari segala kefasikan. Sembari
menggembalakan, Praxedes biasanya membawa bacaan rohani
untuk mengisi waktu menunggui sapi dan domba. Tidak hanya
itu, ia pun menjadi katekis muda di parokinya. Murid-muridnya
mengingat Praxedes sebagai katekis yang sangat berdedikasi. Ia
banyak mengorbankan waktu Minggu malamnya untuk mengajar.
Melihat betapa salehnya Praxedes sejak usia belia, tidak
mengherankan apabila ia mempertimbangkan hidup religius
dengan serius. Waktu-waktu yang dihabiskannya bersama Sustersuster
Dominikan di sekolah semakin menumbuhkan kerinduan
tersebut. Akan tetapi, Praxedes ingat ayahnya yang sedang sakit,
dan hal ini membuat hatinya terbagi. Dalam buku biografinya,
tercatat bagaimana ia mengaku kepada salah satu kakaknya, Olvido,
“Kalau saja Aku tidak menyayangi ayahku demikian mendalam,
dan kalau saja ia tidak sakit keras, maka Aku pasti sudah menjadi
biarawati!” Maka Praxedes harus berpuas diri tinggal di rumah
merawat ayahnya, tidak masuk biara namun juga tidak menikah.
Akan tetapi, ayahnya semakin mengkhawatirkan masa depan
putrinya, sehingga akhirnya, meski dengan enggan, Praxedes setuju
untuk mulai berkencan.
Tidak sulit bagi Praxedes untuk menemukan pria yang mau
bersanding dengannya, sebab parasnya cantik dan sifatnya manis
serta mudah disukai, meski Praxedes juga menunjukkan karakter
yang kuat dan tegas. Ia memutuskan hubungan dengan beberapa
teman kencannya karena berbagai alas an, yaitu status janda, terlalu
cengeng, berselingkuh, pelit, dan terlalu tebar pesona. Adalah
Gabriel Fernandez Martinez, seorang tukang listrik yang berusia
tiga tahun lebih tua, yang akhirnya memenangkan hatinya. Orang
tua Praxedes sempat meragukan Gabriel karena status sosial dan
pekerjaannya, yang sungguh berbeda dari keluarga Praxedes yang
memiliki 16 rumah, sejumlah lahan pertanian, dan rekening bank
yang gemuk. Tetapi Gabriel seorang pemuda yang berhati emas dan
sama tegasnya dengan Praxedes, dan inilah yang utama bagi gadis
itu. Mereka pun menikah tahun 1914, saat Praxedes belum genap
28 tahun.
Sayangnya, pernikahan mereka tidak berlangsung lama.
Setelah enam tahun menikah, Gabriel meninggal karena kecelakaan
kereta, meninggalkan Praxedes dan empat anak laki-laki, yang
paling tua baru berusia lima tahun. Sementara itu, warisan dari
sang ayah yang baru saja meninggal jatuh ke tangan Amalia, ibu
Praxedes, dengan catatan bahwa apabila salah satu anak mereka
menjanda, maka warisan tersebut harus dibagikan pula kepadanya.
Amalia mempersilakan Praxedes dan keempat anaknya
tinggal di salah satu rumahnya, tetapi tidak mau memberikan dana
sepeserpun. Maka Praxedes harus bekerja keras untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari dirinya dan anak-anaknya, termasuk
uang sekolah, pakaian, buku, dan obat-obatan. Ia bekerja sebagai
pembantu bagi ibunya sendiri. Setiap hari ia datang ke rumah
ibunya untuk menggantikan peran dua hingga tiga orang pembantu
rumah tangga. Ia bekerja amat keras dan makan hanya sedikit.
Integritas dirinya sungguh tinggi. Ia juga dengan senang hati
menerima pakaian bekas dari ibunya dan dari Florentina, kakaknya
yang membencinya.
Jiwa hamba begitu melekat dalam diri Praxedes. Secara
harfiah ia memang bekerja sebagai pelayan, namun ia juga menjadi
hamba bagi orang sakit dan orang miskin. Setiap hari, selama
bertahun-tahun, ia memberikan jatah makannya kepada pengemis
yang meminta-minta di depan rumahnya. Praxedes hanya makan
satu kali sehari dan pada hari Jumat ia tidak makan sama sekali.
Orang yang sakit berat kerap ia rawat di rumahnya sendiri. Dan
setelah jam kerja yang panjang itu pun, di penghujung hari ia tetap
setia berkontemplasi dalam hening di hadapan Salib, selama dua
jam.
Sebagai anggota Ordo Ketiga Dominikan, Praxedes
menghidupi Regula Ordo secara utuh. Ia juga menambahkan praktik
matiraga yang mencengangkan. Sekali waktu ia membubuhkan
nama Yesus dan Maria di tubuhnya dengan besi panas membara.
Apapun kondisinya, entah hujan badai, terik matahari, bencana,
atau perang, ia pergi Misa setiap hari. Bahkan ketika kaum Komunis
menduduki desa mereka, ia dan beberapa kenalannya nekat
berjalan jauh ke desa lain untuk Misa harian.
Anak kedua Praxedes tewas dalam kecelakaan kereta seperti
ayahnya. Anaknya yang lain terbunuh dalam Perang Sipil. Putra
ketiga Praxedes, Enrique, menjadi seorang biarawan Dominikan,
hal yang membuat Praxedes begitu bahagia. Ia pernah bernubuat
bahwa putranya itu akan ditahbiskan tahun 1941, bahwa tidak
akan menghadiri Misa pertama Enrique, dan bahwa Enrique akan
menjadi seorang misionaris. Selama masa formasi putranya, mereka
saling berkorespondensi sebanyak 47 pucuk surat. Enrique baru
saja menjadi novis saat kesengsaraan Praxedes sungguh-sungguh
dimulai.
Tahun 1936, Desa Sueros tempat Praxedes tinggal diserang
oleh tentara Komunis. Praxedes sendiri terbaring kesakitan karena
usus buntu akut, tetapi dokter-dokter sedang berada di garis
belakang medan perang sehingga sulit untuk dipanggil mengobati
rakyat sipil. Dalam kepanikan, sahabat-sahabat Praxedes berupaya
mencarikan bantuan medis, namun gagal. Praxedes akhirnya
meninggal, dan jenazahnya diangkut beramai-ramai dengan
jenazah lain untuk dikubur di kuburan massal. Di desa itu sudah
tidak ada imam dan tidak ada upacara pemakaman Katolik yang
layak. Praxedes meninggal dalam keadaan yang sangat buruk,
yaitu tanpa kehangatan, tanpa sakramen, dan tanpa penghormatan
terakhir.
Kita mungkin berpikir bahwa wanita biasa seperti Praxedes
akan segera dilupakan. Lagi pula, tidak ada batu nisan yang menandai
makamnya, dan juga tidak ada publisitas apapun. Namun sahabatsahabatnya
masih ingat kekudusan hidupnya dan kesediannya
untuk datang bagi siapa pun yang memerlukan bantuannya.
Mereka pun mulai berdoa kepada Praxedes, dan satu persatu doa
mereka dikabulkan secara ajaib. Tahun 1953, di Katedral Oviedo,
diadakan perayaan Misa Pontifikal untuk menandai pembukaan
proses beatifikasinya. Misa itu dirayakan oleh 25 orang imam,
dengan Yang Mulia Theodore Labrador, O.P., Uskup Agung Foo-
Chow, sebagai selebran utama. Misa dihadiri 2000 orang. Mereka
menyaksikan bagaimana seorang wanita sederhana yang telah
mengalami begitu banyak siksaan hidup kini mulai menapaki jalan
menuju kehormatan dan kemuliaan abadi.