(1476-1544)

Lucia lahir pada tanggal 13 November 1476 di Kota Kuno Narnia (Narni), Umbria, tempat keluarga Broccadelli telah lama dikenal sebagai keluarga kaya dan terhormat. Bahkan sejak masih bayi merah dalam buaian, sudah tampak tanda-tanda ajaib yang menandakan bahwa ia bukan anak biasa. Konon, ibu dan para pengasuhnya sering melihat, hampir setiap hari, sesosok perempuan misterius dalam jubah religius mengunjungi Lucia, menggendongnya dengan lembut, dan memberkatinya.

Mereka amat penasaran namun tidak pernah bisa mengikuti kepergian sosok tersebut. Betapa terkejutnya sang ibu ketika kelak dinyatakan kepadanya bahwa sosok perempuan itu, tidak lain adalah Santa Katarina dari Siena. Figur Kanak-kanak Yesus menempati posisi penting dalam hidup Lucia sejak ia kecil. Saat Lucia masih berusia empat tahun, pamannya pulang dari Roma membawa banyak oleh-oleh.

Sementara sepupu-sepupunya sibuk mengerumuni boneka dan mainan, Lucia memilih seuntai Rosario kecil dan patung Kanak-kanak Yesus, yang dia sayang-sayang dan ia namai “Christarello”. Itu merupakan momen masa kecilnya yang paling bahagia. Sejak itu, bila ia sedang memperoleh kesenangan, maka ia membagikan sukacitanya pada Christarello. Begitu pula bila ia mengalami kesusahan, di hadapan Christarello ia akan menangis dan mencurahkan isi hatinya.

Kesederhanaan lugu ini tampaknya berkenan di hati Allah, maka Ia mengizinkan patung Christarello itu mengusap bersih air mata Lucia dengan tangan kecilnya. Hal ini disaksikan beberapa kali oleh ibu Lucia yang mengintip lewat pintu kamar. Sang ibu mengenali devosi besar dalam diri putrinya itu sehingga ia kemudian mengajak Lucia ke Gereja paroki dan menunjukkan patung Bunda Maria menggendong Kanak-kanak Yesus. Sang ibu memperkenalkan Bunda Maria sebagai bunda dari Christarello, dan Kanak-kanak Yesus itu sebagai Christarello yang sama seperti yang berada di kamar Lucia. Lucia senang sekali, dan atas persetujuan ibunya ia sering-sering mengunjungi patung di Gereja tersebut untuk berdoa Rosario di hadapannya.

Terpautnya hati Lucia dengan Ordo Pewarta sudah dimulai sejak tujuh tahun. Pada waktu itu ia sedang mengunjungi pamannya yang lain. Di rumah pamannya itu ada sebuah ruangan di lantai atas yang berhias lukisan Malaikat. Lucia senang memandangi lukisan tersebut. Tetapi sayangnya tangga menuju ruang atas itu terlalu curam bagi kaki-kaki kecilnya, sedangkan Lucia enggan ditemani orang dewasa karena ia tidak ingin ada yang mengganggu doanya.

Seperti biasa ia pun langsung mengeluh kepada Sang Christarello, dan segera saja tubuhnya terangkat dan dipindahkan secara ajaib ke ruang atas. Di ruang atas, Lucia tidak hanya dapat memandang lukisan Malaikat kesayangannya, ia pun dikaruniai penglihatan menakjubkan akan Tuhan Yesus, Bunda-Nya, Santo Dominikus, Santa Katarina dari Siena, dan rombongan besar Para Kudus dan Malaikat Surgawi.

Tuhan Yesus menyematkan cincin kawin mistik di jarinya, dan bertanya dengan lembut, “Apakah yang akan Kau berikan pada-Ku? Bagaimana dengan mantol sutra dan kalung emas itu, maukah Engkau mempersembah-kannya pada-Ku?” Mendengar kata-kata Kekasihnya, dengan gembira Lucia mencopot mantol dan kalungnya yang indah, lalu meletakkan keduanya di kaki Tuhan.

Santo Dominikus kemudian menggantinya dengan mengalungkan skapulir putih Dominikan. Sejak hari itu Lucia berada di bawah naungan istimewa Santo Dominikus dan Santa Katarina. Tiga kali terjadi peristiwa Lucia mengalami mukjizat kesembuhan dari penyakit oleh Santa Katarina dan Santo Petrus dari Verona. Wafatnya ayah Lucia membuat Lucia ditinggalkan di bawah pengasuhan sang paman. Menurut kebiasaan zaman itu, pamannya hendak menikahkan Lucia dengan seorang pemuda terhormat, Count Pietro dari Milan. Tetapi Lucia sebetulnya ingin hidup selibat agar jiwa-raganya dapat melayani Tuhan seutuhnya. Dengan tegas dan berani ia menolak rencana tersebut, namun dalam sebuah penampakan Allah menyatakan bahwa hidup pernikahan memang dikehendaki oleh-Nya, dan bahwa Ia menginginkan rumah tangga Lucia mencerminkan Rumah Tangga Suci Nazaret.

Inilah salah satu kasus ketika kehendak mulia manusia ternyata tidak sejalan dengan kehendak Allah. Sering kita terheran-heran mengapa Allah tidak menghendaki pilihan yang tampaknya lebih luhur. Keheranan dan kesedihan juga meliputi Lucia begitu ia menyadari bahwa kehendak-Nya bertentangan dengan maksud baiknya. Tetapi yang lebih penting adalah menaati kehendak Allah di atas segala yang lain. Akhirnya pernikahan antara Lucia dan Count Pietro pun dilangsungkan, meskipun hatinya tertoreh pedih.

Namun justru karena ketaatan itu membuatnya kian berkenan di mata Allah, dan sepanjang hidup pernikahan Lucia, Allah makin sering mencurahkan karunia-karunia supranatural atas hamba muda-Nya yang setia itu. Walau jiwa Lucia tetap terpaut pada panggilan religius, ia tidak pernah gagal memenuhi tanggung-jawab hariannya sebagai istri serta sebagai majikan atas banyak pelayan. Ia memperlakukan pelayan-pelayannya sebagai rekan kerja yang berharga, dan ia pun tak segan membantu pekerjaan di dapur.

Mereka semua bersantap di meja yang sama, dan sesudahnya secara bergiliran membacakan kisah-kisah Para Kudus atau perikop Kitab Suci. Lucia bahkan mengangkat salah seorang pelayan yang hidupnya saleh sebagai pembimbing rohaninya, bak seorang biarawati muda terhadap superior biara. Pada hari Kamis Putih, Lucia membasuh kaki mereka semua dengan penuh kasih sayang yang sanggup membuat pelayan dengan sikap paling kasar sekali pun menitikkan air mata haru.

Apabila ada pelayan yang berbuat kesalahan, maka Lucia tahu bagaimana menghukumnya dengan keras namun tepat, sehingga kesalahan tak terulang lagi. Rumah Lucia menjadi penuh keheningan dan ketenangan, rapi, teratur, dan disiplin bagaikan sebuah biara pertapaan. Tak pernah terucap sumpah serapah atau kata-kata kotor, Nama Allah selalu dihormati, dan kebiasaankebiasaan saleh dipuji dan didorong.

Sekali waktu, dua orang pelayan Lucia, ketika majikan mereka sedang berada di Gereja, mencuri dan membunuh dua ekor unggas yang mereka rencanakan akan mereka masak bagi diri mereka sendiri. Kedua ekor unggas itu baru separo terpanggang saat mereka mendengar Lucia pulang. Dengan ketakutan, mereka buru-buru menyembunyikannya di kolong ranjang. Akan tetapi, Lucia—yang diberikan karunia nubuat—mengetahui semua ini dan bertanya, “Di mana dua unggas yang pagi ini kulihat masih berada di halaman?”

“Mereka terbang kabur, dan kami sudah mencarinya seharian,” jawab salah satu pelayan. “Jangan mencoba memperdaya Allah, anak-anakku,” jawab Lucia, “dua unggas itu ada di bawah ranjangmu. Mari, ikutlah dan akan kutunjukkan.”

Kedua pelayan mengikuti Lucia dengan kesal bercampur khawatir, tetapi tercenganglah mereka ketika Lucia bersiul memanggil unggasunggas tersebut dan mereka betul-betul terbang keluar dari kolong dalam keadaan hidup dan sehat. Di waktu yang lain, seorang pelayannya tergelincir dan tenggelam di sungai saat tengah mencuci pakaian. Lucia membuat tanda Salib di atas sungai, dan segera saja wanita pelayan yang tenggelam itu muncul lagi di permukaan, aman dan masih hidup, meski sekujur tubuhnya sangat basah.

Masih banyak peristiwa mukjizat dan supranatural lainnya yang terjadi berkaitan dengan Lucia. Misalnya, saat ia menyambut Komuni Kudus di Gereja, kadang terlihat sebentuk pilar api turun ke kepalanya, kadang wajahnya bersinar terang-benderang seperti matahari, dan di kesempatan lain muncul Malaikat-malaikat yang memahkotai kepalanya dengan karangan bunga mawar.

Sinar gemilang wajah Lucia yang melampaui sinar wajah manusia biasa, konon memiliki kekuatan untuk menundukkan siapa pun yang memandangnya. Bahkan Count Pietro, suaminya, seringkali dibuat bimbang oleh hal-hal ajaib yang diperbuat istrinya. Count Pietro pada dasarnya adalah pria yang baik dan tulus, serta amat menyayangi Lucia, tetapi bagaimana pun juga mereka memang seperti berasal dari dua dunia yang berbeda. Ia seringkali hilang akal bagaimana cara menghadapi istrinya yang suci itu.

Kebingungan ini kadang diekspresikan sebagai amarah, kecemburuan, bahkan kekerasan. Setelah empat tahun menikah, Beata Lucia memutuskan untuk mengejar impian lamanya membaktikan diri secara utuh bagi Allah. Perlu dicatat bahwa kala itu bukan sesuatu yang aneh bagi seorang suami atau istri meninggalkan pasangan dan rumahnya untuk masuk biara. Jadi yang dilakukan oleh Lucia sebetulnya terbilang lazim.

Awalnya Lucia menyepi di rumah ibunya, tempat kepala Biara Dominikan di Narnia memberinya habit Ordo Ketiga. Namun setelah beberapa lama, para pamannya berpikir bahwa tanda-tanda keajaiban luar biasa yang mewujud dalam diri Lucia sudah cukup untuk menganggap Lucia layak meneruskan hidup sebagai religius. Ia pun dikirim ke Biara Santa Katarina dari Siena di Kota Roma.

Dalam satu tahun setelah ia tinggal di biara, ketenaran akan kesuciannya telah menyebar begitu luas hingga Pater Joachim Turriano, Master Jenderal Ordo saat itu, meminta Lucia menjadi kepala sebuah biara baru di Viterbo. Lucia secara resmi menjabat posisi tersebut pada tahun 1496, usianya genap 20 tahun. Rombongan gadis yang melamar menjadi biarawati membludak hebat dan membuat biara itu harus mengalami perluasan beberapa kali. Tiga tahun kemudian, atas permintaan dari Duke Hercules d’Este, Sri Paus memerintahkan Lucia untuk pindah ke Ferrara dan mendirikan biara lagi di sana. Sama halya seperti di Viterbo, biara Ferrara berkembang dengan cepat.

Selama perjalanan karir Lucia yang menakjubkan ini, suaminya masih berharap Lucia akan kembali hidup bersamanya di dunia. Count Pietro mengikuti Lucia ke Roma namun gagal menemuinya, lantas ia pun ikut berangkat ke Viterbo. Di perjalanan, setiap lidah mendengungkan kabar kekudusan istrinya, doa-doanya yang tak terputus, kemuliaan Surgawi yang nampak ketika Lucia berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus. Yang paling mencengangkan adalah tentang Lucia yang menerima stigmata saat ia masih di Roma. Stigmata tersebut diselidiki segera oleh uskup Viterbo dan tidak butuh waktu lama untuk memaklumkan otentisitasnya.

Count Pietro menghabiskan hari-harinya di luar pintu biara Lucia, bagaikan pengemis malang yang memohonmohon sedekah, bak seorang kekasih yang begitu tergila-gila akan pujaan hati yang tak tergapai. Ketika akhirnya Lucia keluar menemuinya, jelaslah bahwa istrinya itu sudah menjelma menjadi makhluk yang nampaknya hanya setingkat lebih rendah daripada para Malaikat.

Untuk pertama kalinya Count Pietro menyaksikan realita Ilahi yang selama ini diperlakukannya hanya sebagai fantasi kanak-kanak saja. Konon Lucia tidak banyak bercakap, namun satu kali pertemuan hening itu sanggup mengubah seluruh hidup Count Pietro. Hanya dalam hitungan minggu ia pun mengenakan jubah Fransiskan, hidup dalam pengasingan yang sunyi, dan kelak meninggal sebagai orang suci.

Akan tetapi, seperti halnya santo-santa lain yang kita baca, tidak semua orang menyukai atau mengagumi Lucia. Beberapa anggota Ordo Ketiga, terutama mereka yang pernah menerima teguran atau hukuman keras dari Lucia, bergunjing serta menyebarkan keraguan mengenai segala mukjizat dan karunianya. Kelakuan mereka makin menjadi-jadi setelah penderma sekaligus pelindung utama Lucia, Duke Hercules, meninggal pada tahun 1505. Fitnah tersebut sampai pada titik didengar dan dipercaya oleh para petinggi Ordo dan bahkan oleh Sri Paus, yang mencopotnya dari jabatan superior biara. Lucia diturunkan ke posisi yang terendah, tidak lagi memiliki kuasa atas permasalahan biara, dilarang berbincang dengan masyarakat, dan bahkan bapa pengakuannya diganti oleh imam lain yang juga tidak menyukai dirinya.

Reputasi baik Lucia yang telah menyebar segera digantikan oleh awan gelap aib yang memalukan. Seluruh Italia menyebut nama Lucia dengan penuh kejijikan. Bahkan para biarawati yang mengucap kaul di hadapannya, mengucapkan ulang kaul mereka pada superior yang baru, seolah kaul mereka yang dahulu tidak sah.

Permulaan sengsara Lucia itu terjadi ketika ia berusia 29 tahun. Ia menghabiskan 38 tahun sisa hidupnya di bawah penderitaan Salib yang dahsyat. Ketika ia jatuh sakit berat, tidak ada orang yang mau membantunya, sebab mereka telah dibutakan oleh fitnah. Tuhan Yesus sendiri yang kemudian mengirimkan Para Kudus-Nya untuk menghibur Lucia. Sekali waktu, Beata Katarina dari Racconigi, seorang awam Dominikan lainnya yang hidup sezaman, dipindahkan secara ajaib dari rumahnya di Savoy ke dalam sel Lucia untuk menemaninya menghabiskan malam.

Tanggal 15 November 1544, Lucia merasa waktu ajalnya telah dekat. Pada waktu itu usianya 68 tahun. Ia mengumpulkan para biarawati kemudian dengan rendah hati meminta maaf akan semua skandal yang telah ditimbulkannya selama ini. Tak satu pun kata pembelaan diri, klarifikasi, atau penyesalan keluar dari mulutnya.

Hanya nasihat yang ia utarakan, agar saudari-saudarinya itu tidak kecewa dengan segala ketidaksempurnaan dirinya, melainkan terus mengasihi Allah saja. Mendekati tengah malam, setelah menerima Sakramen-sakramen Terakhir, Lucia berseru dengan sukacita, “Menuju Surga! Menuju Surga!” dan ia pun menghembuskan napas terakhirnya dengan bibir tersenyum. Surga tak membiarkan reputasi putri-Nya yang terkasih itu tetap tercemar di muka bumi. Di saat wafatnya, terdengar suara kidung Malaikat yang merdu, aroma yang amat harum memenuhi sel Lucia, dan sekejap saja mata para biarawati terbuka akan kebenaran tentang kesucian superior mereka.

Upacara pemakaman yang indah dan khusyhuk pun diadakan, seolah ingin mengembalikan nama baik Lucia sebisa mungkin. Jenazahnya dipertontonkan dengan hormat kepada umat. Mereka yang dahulu mengatai Lucia sebagai penipu, sekarang berbondong-bondong datang untuk menyentuh relikuinya. Berbagai mukjizat terjadi, antara lain orang sakit disembuhkan dan setan-setan diusir dari mereka yang kerasukan.

Empat tahun setelah pemakaman, jenazah Lucia digali kembali dan ditemukan tidak membusuk, malah diliputi keharuman menyejukkan yang tidak berasal dari dunia ini. Stigmatanya masih ada dan terbuka seperti luka-luka segar. Tanggal 1 Maret 1710 ia dibeatifikasi oleh Paus Klemens XI. Tahun 1797 jenazahnya dipindahkan dari Roma ke Ferrara, kemudian tanggal 26 Mei 1935 dipindahkan lagi ke Katedral Narnia, tempat Beata Lucia sampai hari ini beristirahat dalam kemuliaan dan kehormatan yang mampu diberikan oleh manusia.

Doa
Ya Allah, Engkau menghiasi tubuh Beata Lucia dengan luka-luka Sengsara Suci Putra-Mu, dan Engkau mempercantik jiwanya dengan karunia kemurnian dan kesabaran. Dengan demikian Engkau memampukannya menyangkal gemerlap dunia dan mengatasi penganiayaan. Semoga melalui pengantaraan dan teladannya kami pun tidak terseret oleh arus keduniawian atau tenggelam di bawah kesusahannya. Melalui Kristus Tuhan kami. Amin.
(Kalender Umum Ordo Pewarta)

Bokep Indonesia Terbaru Bokep Jepang Jav Bokep ukthi jilbab GOBETASIA DAYWINBET DAYWINBET GOBETASIA gobet DAYWINBET SLOT GACOR BOKEP INDO BOKEP INDONESIA