(1332-1360)
-
Pelindung: pasangan menikah
-
Pesta: 29 Januari (Kalender Dominikan)
Beberapa Orang Kudus diberkati dengan kesucian sejak usia dini, sementara yang lain baru menapaki jalan kesempurnaan di usia dewasa. Namun ada juga mereka yang terombang-ambing di tengah-tengah. Mereka adalah orang-orang baik yang dengan tulus menyukai gagasan tentang hidup saleh, tetapi sering ragu dan mudah teralihkan ketika mencoba menjalaninya sendiri.
Seturut kata-kata Santo Agustinus, “Ya Tuhan, jadikanlah aku murni, tetapi nanti saja Termasuk dalam kelompok yang kerap terombang-ambing di tengah-tengah itu adalah Villana, putri seorang saudagar kaya di Florence, Italia. Ia lahir dan hidup dalam sebuah keluarga besar yang tinggal di kastil mewah di area kota yang ramai. Villana terbiasa dengan suasana hingar-bingar dan tren-tren pakaian serta gaya hidup mutakhir.
Dapat dimaklumi apabila seseorang yang dikelilingi kemewahan seperti itu merasa kesulitan memahami konsep kemiskinan dan pertobatan. Akan tetapi, entah bagaimana, Villana dapat memahaminya. Sejak kecil sebenarnya ia sudah memiliki “insting” kesalehan dan keinginan bermatiraga, namun ia masih mudah terpengaruh oleh ayahnya yang senang berfoyafoya. Keluarganya bukan keluarga yang jahat, hanya saja sangat keduniawian.
Praktik doa dan silih yang sekali-kali dicobanya masih mengandung unsur kesombongan rohani. Kendati demikian, di atas keriangan pesta-pesta, dansa, dan acara hiburan yang menyenangkan, jauh di dalam lubuk hatinya Villana menyadari bahwa jiwanya masih mencari kehidupan yang lebih agung.
Sekali waktu, ia mencoba melepaskan diri dari segala keduniawian yang ia sadari makin mencekik intensi-intensi luhurnya. Villana bersembunyi di dekat gerbang kota, menunggu malam turun, supaya ia dapat lari ke padang gurun dan hidup sebagai pertapa. Namun tentu saja ia tertangkap dengan mudah, dan ia dipulangkan ke keluarganya dengan dipermalukan habishabisan. Saudara-saudaranya menertawai ide konyol untuk menjadi pertapa, sementara ibunya yang marah membakar semua alat matiraga yang susah-payah dikumpulkan Villana.
Sang ayah memutar otak mencari cara untuk mengakhiri ulah putrinya, dan akhirnya memutuskan untuk menikahkan Villana dengan seorang pria kaya raya bernama Rosso di Piero. Segera setelah menikah, Villana meninggalkan semua latihan kesalehannya dan betul-betul menjadi wanita genit. Ia senang berdandan menor, berdansa tanpa lelah di pesta-pesta, dan berlaku centil dan dungu di kerumunan laki-laki yang menghujaninya dengan perhatian. Ketika Wabah Hitam mulai melanda Eropa tahun 1348 dan tubuh-tubuh manusia bergelimpangan di manamana, gaya hidup Villana justru semakin men-jadi-jadi. Di hadapan maut yang menyapu negeri itu, ia melihat bahwa kesenangan hidupnya hanyalah sia-sia belaka, tetapi secara psikologis ia masih menyangkal.
Sedapat mungkin ia menghindari pikiran-pikiran tentang penderitaan, penyakit, dan kematian, dengan cara berdansa lebih liar, berpesta lebih meriah, dan makan-minum lebih banyak. Rupanya Allah harus memanggil putri-Nya yang keras kepala itu dengan cara yang tidak kalah kerasnya. Pada suatu malam, Villana sedang bersiap-siap menghadiri sebuah acara hiburan.
Seperti biasa, tubuh cantiknya dibalut gaun mewah bertabur batu-batu mulia, rambutnya dijalin dan ditata dengan apik, dan sepatunya berkilat-kilat mahal. Sebelum meninggalkan kamar, ia melempar pandangan terakhir ke arah cermin untuk memastikan penampilannya.
Betapa terkejutnya Villana saat melihat bahwa yang tampak di cermin bukanlah paras dirinya yang gilang-gemilang, melainkan sebentuk wajah monster berkulit busuk, bermata merah terbakar, dan rambutnya berupa ratusan ular berbisa melingkar-lingkar.
Menjerit ketakutan, Villana berlari mencari cermin lainnya, tetapi cermin itu pun juga menampakkan monster yang sama. Dengan putus asa dia berlari masuk ke kamar-kamar di seluruh kastil besar itu, mencoba semua cermin yang ada, hanya untuk melihat wajah dari Neraka itu menatapnya balik dengan seringai menyeramkan.
Lantas mengertilah Villana bahwa Allah telah berkenan menunjukkan padanya keburukan jiwanya sendiri. Penuh sesal, ia mencopot semua perhiasannya, berganti baju dengan gaun yang sederhana, lalu bergegas menuju Gereja (sekarang Basilika) Santa Maria Novella, sebuah Gereja Dominikan tak jauh dari kediamannya.
Di Gereja itu ia jatuh berlutut dan menangis sejadi-jadinya di kaki seorang imam yang saleh. Pada hari itu Villana memberikan pengakuan dosa terbaiknya setelah delapan belas tahun hidup yang sia-sia. Villana kembali ke rumah dengan hati dan jiwa yang telah diubah. Untuk menebus cara hidupnya yang lama sekaligus menghormati kemiskinan Tuhan, ia menyumbangkan semua pakaiannya yang bagus-bagus serta sebagian besar uangnya kepada orang miskin. Sejak saat itu Villana hanya mau mengenakan pakaian yang jelek dan usang.
Tidak puas, Villana meminta bapa pengakuannya untuk memerintahkan dia pergi ke padang gurun supaya ia hidup sebagai pertapa. Namun sang bapa mengatakan bahwa status perkawinan Villana merupakan halangan bagi niat mulianya itu. Ia menganjurkan wanita itu tetap tinggal di rumah sebagai istri yang baik dan mendekatkan diri pada Allah dengan cara lain.
Tetapi ia tetap mengizinkan Villana untuk mengenakan rantai besi di pinggangnya, juga menerimanya sebagai anggota Ordo Ketiga Dominikan. Villana membuang semua buku bacaan duniawinya dan menggantinya dengan mempelajari Kitab Suci. Ia mengalami kemajuan pesat dalam hidup doa, serta dalam amal kasih terutama pada orang miskin. Sejak hari pertobatan yang drastis itu, Villana semakin menyadari kehadiran Tuhan dalam diri kaum miskin, dan kebenaran ini kian nyata dari satu kejadian mukjizat.
Suatu hari, ketika sedang berjalan pulang dari Gereja, Villana menemukan seorang pengemis yang sakit tergeletak di jalan dalam kondisi mengenaskan. Tanpa ragu-ragu Villana menghampiri pengemis itu lalu, dengan kekuatan berlipat ganda oleh sebab kasihnya yang besar, ia menggendong tubuh si pengemis dan membawanya ke sebuah rumah sakit umum. Villana meninggalkan si pengemis sebentar di atas ranjang dengan maksud hendak mencari obatobatan.
Saat kembali, ranjang itu kosong, dan tidak ada seorang pun yang dapat menemukan jejak si pengemis. Orang-orang kemudian mempercayai bahwa pengemis itu tidak lain adalah Kristus sendiri. Ayah Villana kehilangan sebagian besar hartanya dalam kapal karam, sehingga ia jatuh miskin. Villana berdoa baginya dan bersamanya, sampai akhirnya sang ayah bertobat dan mengikuti putrinya dalam hal doa, kemiskinan, dan matiraga. Villana juga dikaruniai rahmat mengetahui rahasia hati orang-orang yang berbicara kepadanya, sehingga membuatnya mampu memberikan nasihat dan doa-doa yang tepat sasaran.
Villana kerap mengalami kunjungan dari Bunda Maria dan beberapa Orang Kudus lainnya. Selain itu, ia pun sering didatangi iblis. Sekali waktu, setelah ia berseteru dengan iblis yang menyerangnya, Santa Katarina Martir (Katarina dari Alexandria) menampakkan diri, menunjukkan sebuah mahkota yang indah, dan berkata, “Tetaplah setia dan teguh, Anakku, lihatlah upah mengagumkan yang telah menunggumu di Surga.”
Penglihatan ini dipercayai sebagai sebuah nubuat bahwa kematian Villana akan datang tidak lama lagi. Menjelang akhir hayat, penderitaan dan kesakitan Villana ditambahkan oleh Allah, diiringi dengan kehausan untuk menderita lebih banyak demi Sang Kekasih Jiwa. Setiap kali tubuhnya berangsur membaik, Villana berseru, “Tidak, Tuhan, aku tidak meminta kesembuhan apa-apa, tetapi aku minta agar penderitaan ini Engkau tambahkan.”
Setelah menerima Sakramen-sakramen Terakhir dengan penuh cinta, ia meminta agar dibacakan kisah Sengsara Suci Tuhan dari Kitab Suci. Ketika sampai pada bagian “Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya” (Yoh 19:30), Villana pun meninggal dengan tenang.
Ajaib, wajah wanita yang dirajam berbagai penyakit itu berubah menjadi luar biasa cantik. Tidak lagi tampak tandatanda demam tinggi dan penderitaan hebat di air mukanya, yang kini menyinarkan cahaya Surgawi yang mengherankan namun mempesona siapa pun yang menyaksikannya. Saudari-saudarinya dari Ordo Ketiga membiarkan tubuh Villana dipertunjukkan selama 37 hari untuk publik yang datang berbelasungkawa sekaligus memohon doa. Selama itu pula jasad Villana tidak membusuk. Villana de Botti dibeatifikasi oleh Paus Leo XII pada tahun 1829.
Doa
Ya Allah, kerahiman-Mu yang tak terhingga memanggil kembali hamba-Mu, Beata Villana, dari jerat duniawi, sehingga ia mengubah hidupnya dan berjalan di jalan kerendahan hati dan pertobatan. Semoga melalui perantaraannya, kami mampu mengakukan dosa-dosa kami dengan baik, dan memperoleh pengampunan dari-Mu. Melalui Kristus, Tuhan kami. Amin.
(Kalender Umum Ordo Pewarta)