Albertus lahir dalam sebuah keluarga petani miskin di Valle d’Ogna, sebuah lembah perbukitan yang subur di dekat Kota Bergamo, Italia. Walaupun berkekurangan, keluarga itu amat saleh dan pekerja keras. Ayah Albertus mendidik putranya dengan praktik-praktik silih dan amal kasih, yang kelak akan berbuah kekudusan dalam diri Albertus.

Sejak usia tujuh tahun Albertus sudah biasa berpuasa sebanyak tiga hari dalam seminggu dan memberikan jatah makanannya pada hari-hari tersebut kepada orang yang lebih miskin. Setiap hari ia bekerja mengolah ladang. Di situlah ia belajar untuk melihat pekerjaan tangan Allah dalam segala hal, serta mendengar suara- Nya dalam bisikan alam. Waktu-waktu panjang dan berat yang dihabiskannya di ladang justru membuat jiwanya semakin tenang dan kontemplatif. Ia menggunakan semua yang dilihat, didengar, dan dikerjakannya sebagai sarana untuk mengangkat hati dan pikirannya kepada Allah. Kontemplasi sederhana itu menjadikan hatinya murni, rendah hati, dan bijaksana.

Albertus menuruti keinginan sang ayah untuk menikah muda dengan seorang gadis petani. Tahun-tahun awal pernikahannya berjalan bahagia, keduanya hidup rukun dan sang istri pun banyak meniru Albertus dalam laku kesalehan serta matiraga. Akan tetapi, setelah ayah Albertus tiada, sifat sang istri tiba-tiba berubah. Wanita itu membuat rumah-tangganya menjadi sumber penderitaan tak tertahankan bagi Albertus, sebab ia mempermasalahkan setiap ucapan dan perbuatan suci suaminya dengan kata-kata kasar dan penuh amarah. Sang istri mencela Albertus karena “membuangbuang waktu untuk berdoa” dan “terlalu royal kepada orang miskin”.

Di mata manusia, memang harus diakui bahwa tindakan Albertus terkadang tampak berlebihan, misalnya beberapa kali ia menyumbangkan makan malam yang sudah disiapkan untuknya dan untuk para pekerja, sehingga seolah-olah ia kelihatan tidak menghargai masakan istrinya. Tetapi beberapa kali pula Allah secara ajaib mengembalikan makanan yang telah disumbangkannya itu, sebagai ganjaran atas kepercayaan Albertus bahwa Allah tidak akan menelantarkan mereka.

Melihat mukjizat ini dan didukung oleh sikap Albertus yang senantiasa sabar, manis, dan teguh walau mengalami penganiayaan domestik, hati sang istri lambat-laun luluh. Ia berubah menjadi rekan sekaligus “saingan” Albertus dalam hal kesalehan dan karya amal, sebelum meninggal dalam damai tak lama kemudian. Demikianlah Beato Albertus menunjukkan bahwa doa dan ketekunan iman memenangkan jiwa-jiwa yang dimulai dari jiwa orang terdekatnya.

Setelah wafat istrinya, Albertus bebas menyerahkan rumah dan lahan pertaniannya kepada para tuan-tanah, dan ia pun bertolak dalam peziarahan menuju Yerusalem dan Roma. Ia singgah di Cremona untuk bekerja sebagai buruh tani pada masa panen. Ia lantas terkenal sebagai “Si Pekerja yang Rajin”. Di Cremona jugalah Allah berkenan untuk menampilkan kesucian hambanya di hadapan manusia. Saat Albertus bekerja Malaikat-Malaikat datang dalam rupa manusia untuk membantunya, sehingga penghasilannya pun berlipat ganda dan ia mampu menyumbangkan lebih banyak kepada kaum miskin. Masih tidak puas, Albertus kerap pergi mengemis untuk orang-orang miskin tersebut.

Tak ayal para pekerja lain mulai merasa iri. Mereka bertekad untuk mengganggunya dengan cara menanam lempeng-lempeng besi di tanah yang diolah Albertus, dengan harapan sabitnya menjadi tumpul. Tetapi ajaib, sabit itu ternyata tetap memotong besi-besi itu seakan besi tersebut tak ubahnya tangkai-tangkai gandum biasa.

Di waktu yang lain, Albertus tidak sengaja menjatuhkan tong kayu berisi anggur yang tengah digotongnya menuju rumah seorang wanita miskin. Tong itu pecah berkeping-keping di jalan. Seperti biasanya dalam kesusahan, Albertus berseru, “Ya Raja Kemuliaan Kekal, bersegeralah menolong aku!” Kemudian ia mengumpulkan dan menyusun kembali patahan-patahan kayu itu dan dengan tangannya ia meraup sisa anggur yang tercecer lalu memasukkannya kembali ke dalam tong. Sungguh sebuah mukjizat
bahwa tong tersebut utuh seperti sediakala dan anggur di dalamnya tak berkurang!

Pondok sederhana Albertus di Cremona terletak berdekatan dengan sebuah Biara Dominikan, maka ia memberikan dirinya dibimbing oleh para Imam Dominikan di sana. Jubah sebagai Ordo Ketiga yang kemudian diterimanya pada tahun 1256 membuat Albertus makin bersemangat mendedikasikan seluruh waktu dan tenaga untuk pelayanan kepada orang miskin, terutama mereka yang sakit. Albertus mengunjungi mereka, menjadikan dirinya pelayan mereka, menemani mereka dalam sakratul maut, serta ikut mengiringi pemakaman mereka. Bahkan, ia berhasil mendirikan sebuah rumah sakit untuk kaum papa.

Untuk obat-obatan, Albertus membudidayakan berbagai tanaman obat di Biara Dominikan tersebut. Ia bekerja keras siangmalam mela-kukan hal-hal yang berat dan hina, dengan tetap menjaga sikap yang riang dan penuh syukur. Beberapa kali ia juga mengatur perjalanan agar orang-orang miskin dapat mengunjungi tempat-tempat suci di sekitar Cremona.

Kehidupan aktif yang sibuk tidak lantas mengganggu kehidupan kontemplatifnya, sesuai rencana Albertus tetap berziarah ke Yerusalem dan ke Roma. Sepanjang hidupnya, ia mengunjungi Roma sebanyak sembilan kembali, Yerusalem satu kali, dan makam Santo Yohanes dari Compostella di Spanyol sebanyak delapan kali. Semua perjalanan itu diisinya dengan keheningan meditatif, atau sembari bermadah dan mendaraskan mazmur, atau berbicara tentang Tuhan bersama rekan-rekan yang ditemuinya di jalan. Tidak ada waktu baginya untuk berdiam dalam kejenuhan, sebab setiap langkah kakinya senantiasa merangkai untaian doa yang tak terputus.

Sekali waktu, saat berjalan pulang dari salah satu ziarahnya, Albertus sampai di tepi Sungai Po yang lebar dan dalam. Pemilik perahu yang biasa menyeberangkan orang-orang menolak Albertus karena ia tidak memiliki uang untuk membayar. Maka Albertus membentangkan mantolnya di atas air dan berjalan di atasnya hingga mencapai seberang sungai dengan aman.

Di penghujung hidupnya, Albertus jatuh sakit karena kelelahan. Merasa bahwa ajalnya akan segera tiba, ia meminta seorang tetangga memanggilkan imam untuk memberinya Sakramen-sakramen Terakhir, tetapi imam tersebut rupanya terlambat lama sekali. Tiba-tiba muncul seekor burung merpati
putih, entah dari mana, membawakan Viatikum Suci yang sudah ditunggu-tunggu.

Albertus meninggal tanggal 7 Mei 1279 dalam usia 65 tahun dengan mendekap sebuah Salib yang dikecupnya berulangulang sebelum menghembuskan napas terakhir. Konon, saat ia menyerahkan jiwanya, lonceng-lonceng Gereja di Cremona berdentang sendiri, dan rakyat berbondong-bondong mengunjungi ranjangnya untuk memberikan penghormatan terhadap jenazah Sang Beato.

Persiapan dilangsungkan untuk mengubur tubuh Albertus di pemakaman di halaman biara, sebab ia bukan seorang imam atau biarawan yang dapat dimakamkan di dalam Gereja. Anehnya, tanah di halaman menjadi amat sulit digali. Maka “terpaksa” mereka mengusung peti ke dalam Gereja; di situ ditemukan sebuah makam kosong yang belum pernah digunakan, yang terletak persis di bawah titik tempat Albertus biasa bersujud dalam doa-doanya yang panjang. Amat aneh bahwa tidak ada seorang pun mengetahui keberadaan makam itu sebelumnya. Seolah makam tersebut tercipta secara tiba-tiba untuk menyambut tubuh Si Petani Suci. Di situlah tubuh Albertus dikebumikan dengan penghormatan besar, dalam upacara pemakaman yang dipimpin oleh uskup.

Pada tanggal 9 Mei 1748, Paus Benedikus XIV menggelari Beato bagi Albertus dari Bergamo, dan mengizinkan Misa dan Ofisi dipersembahkan oleh Ordo Dominikan dan para Klerus Bergamo dan Cremona untuk menghormati Sang Petani Suci.

Bokep Indonesia Terbaru Bokep Jepang Jav Bokep ukthi jilbab GOBETASIA DAYWINBET DAYWINBET GOBETASIA gobet DAYWINBET SLOT GACOR BOKEP INDO BOKEP INDONESIA