[text_divider type=”double”]

(1586-1617)

[/text_divider]

[column width=”2/3″ title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]

[/column]

[column width=”1/3″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]

[/column]

[column width=”1/1″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]

[dropcap type=”1″]T[/dropcap]ahun 1543 merupakan awal dari berkibarnya Panji Kristus di Negeri Matahari Terbit. Pada tahun tersebut, misionaris Yesuit dari Portugis mendarat di pantai-pantai Jepang, diikuti oleh misionaris Fransiskan dan Dominikan dari Spanyol. Sejarah mencatat Santo Fransiskus Xaverius ikut dalam rombongan Jesuit Spanyol yang berkarya di Kagoshima hingga sekitar tahun 1600.

Saat Kekristenan mencapai puncaknya, populasi “Kirishitan” (orang Jepang yang beragama Katolik) mencapai 300.000 orang. Di akhir abad 16, misi di Jepang telah menjadi komunitas Kristen terbesar yang berada di luar kekuasaan Eropa. Budaya Katolik sudah sempat meninggalkan beberapa warisan yang dapat kita nikmati sampai saat ini, misalnya masakan tempura, yang awalnya diciptakan para misionaris supaya orang Katolik Jepang dapat menyantap makanan laut selama masa Prapaskah (Latin: tempore quadragesimae; “tempura” sebagai pelafalan Jepang terhadap kata “tempore”).

Sentimen antipati terhadap pengaruh asing, termasuk terhadap Kekristenan, mulai ada sejak kekuasaan Toyotomi Hideyoshi, daimyo yang berjasa mempersatukan Jepang dan memerintah dari tahun 1585-1591. Hideyoshi berusaha menahan penyebarluasan agama Katolik sembari tetap menjaga relasi perdagangan dengan Portugal dan Spanyol. Akan tetapi oleh karena banyaknya orang Jepang yang menjadi Katolik, termasuk di kalangan para daimyo, Hideyoshi semakin curiga dan takut bahwa akan timbul pemberontakan melawan Kekaisaran Jepang. Sentimen Hideyoshi ini diteruskan putranya, Tokugawa Ieyasu, dan di bawah Tokugawa-lah lahir martir-martir baru bagi kemuliaan Kerajaan Allah.

Magdalena merupakan anak yang cerdas. Sejak kecil ia suka belajar dan membaca buku-buku rohani dalam bahasa Jepang dan Portugis. Ia mengkonsekrasikan keperawanannya kepada Allah di hadapan gambar Bunda Maria Ratu Rosario. Ia juga bekerja sebagai penerjemah dan katekis bagi biarawan-biarawan Augustinian, sebuah pekerjaan yang menempatkannya dalam bahaya sangat besar.

Oleh karena kedekatan Magdalena dengan Ordo Augustinian, beberapa sumber juga menyebut-nya sebagai Augustinian Awam. Umurnya kala itu belum genap 15 tahun. Magdalena kehilangan orang tua dan harta bendanya dalam penganiayaan Tokugawa. Satu persatu biarawan Augustinian yang dilayaninya pun ditangkap dan dihukum mati. Saat menginjak usia 22 tahun, ia sudah menjadi yatim-piatu sekaligus tunawisma dan tanpa uang sepeser pun. Magdalena lantas pindah ke atas bukit] dan menetap di sebuah gua bak seorang pertapa.

Beruntunglah ia bahwa orang tuanya telah menanamkan iman yang kuat, sehingga ia memutuskan untuk menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam doa yang intens. Semua orang Katolik Jepang pada waktu itu sudah paham bahwa mereka akan mati, tinggal menunggu kapan dan bagaimana. Magdalena menempatkan dirinya di bawah bimbingan rohani Pater Jordan de San Esteban, OP. dan menerima habit sebagai Ordo Ketiga. Pater Jordan membawakannya Sakramen-sakramen sesering mungkin. Namun satu hari ia tidak datang seperti yang dijanjikannya, dan Magdalena mendengar bahwa imam tersebut telah dipenjara. Maka ia memutuskan bahwa inilah waktunya untuk menyatakan dirinya sebagai seorang Kristen.

Mengenakan habit lengkap Dominikan, Magdalena berjalan mendatangi penjara di Nagasaki. “Aku orang Kristen. Biarkan aku masuk!” katanya kepada penjaga. Tetapi penjaga tersebut, melihat betapa muda dan ringkihnya Magdalena, menjawab, “Pulanglah, gadis kecil, kamu tidak seharusnya berada di sini.” Tetapi Magdalena semakin memaksa minta dimasukkan penjara, sehingga untuk meredakan keributan, si penjaga terpaksa mengizinkannya masuk. Di dalam penjara, Magdalena mencari Pater Jordan dan mengucapkan janji kekalnya dengan penuh sukacita, seolah tidak terjadi apa-apa.

Si penjaga masih berusaha mengeluarkan Magdalena, tetapi gadis itu selalu protes. Karena kesal ia berkali-kali hampir diluputkan dari kemartiran, Magdalena muncul secara tiba-tiba dalam persidangan para tahanan dan memaklumkan imannya di hadapan semua orang. Maka tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menahannya secara resmi.

Tawaran-tawaran kemurahan hati ditolak Magdalena dengan keras. Oleh sebab itu, sesuai prosedur, ia mesti menanggung serangkaian proses penyiksaan. Menurut catatan sejarah, penyiksaan di Era Tokugawa sangat beragam dan mengerikan. Penyiksaan yang dilakukan terhadap Magdalena akan dipaparkan di bawah ini, bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menunjukkan betapa mengagumkannya roh keberanian dan keteguhan hati yang dikaruniakan Allah kepadanya.

Pertama-tama, algojo diperintahkan memotong dan mengasah serpihan bambu tajam, lalu menghantamnya masuk ke bawah kuku jari sehingga bambu tersebut merobek kuku dan ujung-ujung jari. Magdalena, melihat darah mengalir dari jarijarinya, berseru senang, “Kalian menghias tanganku dengan batubatu rubi!” Selanjutnya, Magdalena dipaksa menggali lubang di tanah menggunakan serpihan bambu yang telah tertancap di jari-jarinya, dan perintah ini pun dikerjakan Magdalena dengan gembira.

Kemudian, mereka mencoba penyiksaan dengan air. Sejumlah besar air dituangkan ke dalam mulut hingga tenggorokan Magdalena, lalu ia didorong jatuh dan ditindih bebatuan berat hingga air tersebut memuncrat keluar melalui rongga mulut, hidung, dan telinganya. Masih belum puas, kedua lengan Magdalena diikat dan digantung dengan tali di atas kepalanya, tubuhnya dikerek tinggi-tinggi, lalu dijatuhkan tiba-tiba sehingga sendi-sendi bahunya terlepas dari engselnya.

Penyiksaan bertubi-tubi, berulang, dan tanpa jeda itu sama sekali tidak mematikan bara cinta Magdalena kepada Kristus. Ia bahkan terdengar berseru, “Kalian seharusnya malu apabila kalian berpikir aku akan menyangkal Kristus hanya gara-gara ketidaknyamanan kecil ini. Orang akan berpikir kalian seharusnya bisa menemukan sesuatu yang lebih hebat lagi untuk diriku!”

Magdalena akhirnya dikirim ke penyiksaan yang paling menyakitkan dan paling ditakuti, yaitu tsurushi. Ia digantung terbalik di dalam lubang sedalam enam kaki yang penuh berisi kotoran manusia. Selama berhari-hari darahnya mengalir keluar melalui telinga, hidung, dan mulutnya. Normalnya, penderitaan akibat tsurushi ini dikatakan “di luar kewajaran; tidak ada api atau siksa lainnya yang mampu menyamai kekejamannya.”

Tetapi Magdalena tidak sekali pun mengeluarkan keluhan atau teriakan kesakitan. Ia malahan menyanyikan lagu-lagu cinta merdu dalam bahasa Jepang bagi Yesus, Kekasih Surgawi-Nya. Setiap hari para penjaga lubang akan mendengar ia bertanya, “Apakah kalian mau mendengar sebuah lagu?” dan setiap kali dijawab “Ya”, Magdalena akan menyenandungkan kidung-kidung pujian kepada Allah, yang konon begitu indah hingga dikatakan suaranya bukan dari dunia manusia biasa.

Ketahanan Magdalena di lubang tsurushi menjadi desasdesus di antara masyarakat, penjaga, sampai ke atasan mereka. Para petinggi dari Nishizaka berbondong-bondong datang untuk melihat sendiri apa yang terjadi. Banyak dari mereka yang keras hati mulai luluh. Akan tetapi Takenaka Uneme, Gubernur Nagasaki yang kejam, memerintahkan penjaga untuk memukul kepala Magdalena agar pingsan, dan meninggal-kannya semalaman dalam hujan deras. Para penjaga melakukannya dengan hati gundah, sebab sudah berhari-hari nyanyian Magdalena menghibur mereka.

Pagi harinya, mereka menemukan lubang tsurushi Magdalena telah tergenang penuh oleh air hujan. Tidak ada lagi ekspresi sukacita dan nyanyian manis yang berkumandang dari kegelapan lubang. Magdalena meninggal tenggelam setelah tergantung terbalik selama 13 hari. Seperti para martir lainnya, jenazahnya dibakar dan abunya dibuang ke laut untuk menghindari diambil dan dihormati sebagai relikui. Magdalena, Lorenzo Ruiz, dan para martir Jepang lainnya dibeatifikasi bersama-sama oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 18 Februari 1981 di Luneta, Filipina. Paus yang sama mengkanonisasi mereka di Roma pada tanggal 18 Oktober 1987.

[/column]

[column parallax_bg=”disabled” parallax_bg_inertia=”-0.2″ extended=”false” extended_padding=”true” background_color=”#898989″ background_image=”” background_repeat=”” background_position=”” background_size=”auto” background_attachment=”” hide_bg_lowres=”false” background_video=”” vertical_padding_top=”0″ vertical_padding_bottom=”0″ more_link=”” more_text=”” left_border=”transparent” class=”” id=”” title=”” title_type=”single” animation=”none” width=”1/1″ last=”true”]

[column_1 width=”1/1″ last=”true” title=”” title_type=”single” animation=”none” implicit=”true”]

Doa
Ya Allah, Mata Air dan Asal-Muasal Segala Bangsa, Engkau memampukan Santa Magdalena setia sampai akhir pada Salib Kristus, bahkan hingga menumpahkan darahnya sendiri. Semoga melalui doa-doanya, kami berani mewartakan kasihMu di antara saudara-saudara kami, supaya kami boleh disebut sebagai, serta sungguh menjadi, anak-anak-Mu. Melalui Kristus, Tuhan kami. Amin.
(Kalender Umum Ordo Pewarta)

[/column_1]

[/column]